Minggu, 21 Agustus 2011


HUKUM PERKAWINAN NASIONAL
Menurut KUH Perdata dan UU NO 1 Tahun 1974

Hukum pekawinan nasional Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 dan khusus untuk masyarakat Islam Indonesia hukum perkawinan itu dijabarkan dan dijelaskan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam uraian singkat ini dikemukakan beberapa hal yang penting tentang hukum perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan tersebut.
MAKNA PERKAWINAN
Perkawinan Perdata, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan (Pasal 26 BW)
Dengan demikian, bersifat YURIDIS karena sahnya perkawinan jika syarat-syarat menurut UU (KUHPer) dipenuhi. Artinya, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat - syarat yang ditetapkan dalam KUHPer dan syarat-syarat peraturan yang dikesampingkan.
Menurut UU NO.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kekurangan Pasal 26 KUHPer,tidak memperhatikan beberapa hal seperti :
·         Unsur Agama.  :   UU tidak mencampurkan upacara-upacara perkawinan menurut peraturan
·         UU tidak memperhatikan larangan-larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama
Segi Agama, cerai tidak dimungkinkan meskipun dalam hukum agama katolik, tidak ada istilah perceraian
Segi Biologis, UU tidak memperhatikan faktor-faktor biologis seperti kemandulan
Segi motif, UU tidak mempedulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan
Jadi, KUHPer hanya memperlihatkan segi-segi formalitas saja.
Positifnya Pasal 26 KUHPer :
·         Perkawinan monogami  :   Sesuai dengan Pasal 27 KUHPer
·         Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian
·         Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan2 tertentu ; limitatif
Pelanggaran terhadap Pasal 27 KUHPer, dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 279 KUHPidana. Yang berisi bahwa seseorang dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun apabila ia mengadakan perkawinan padahal masih terikat pada perkawinan sebelumnya yang menjadi penghalang yang sah untuk perkawinan yang baru. Dan apabila menyembunyikan perkawinan baru tersebut maka dapat dikenakan pidana penjara selama 7 tahun.
Perkawinan merupakan suatu lembaga yang abadi, yg dapat disimpulkan dengan :
1.      Larangan perceraian dengan persetujuan
2.      Hakim wajib mendamaikan kembali sebelum memutuskan perkara perceraian
Perceraian harus dengan alasan – alasan terbata, di luar alasan – alasan tersebut perceraian dilarang.
KONSEPSI PERKAWINAN
Konsepsi, diartikan sebagai sistem hukum yang dipakai / sistem hukum tertentu. Sistem hukum tsb berbeda, hal tsb tergantung dari :
1.      pandangan hidup
2.      karakter
3.      cara berpikir penganut sistem (negara/bangsa)
Perbedaan sistem hukum konsepsi perkawinan dalam sistem KUHPer/BW dan UU No. 1 tahun 1974 adalah :
1.      Konsepsi perkawinan menurut KUHPer, hanya dipandang dari segi keperdataannya saja. Artinya, UU melihat perkawinan itu sah dan syarat – syaratnya menurut UU dipenuhi. Yang dilihat hanya faktor yuridis sesuai dengan Pasal 26 KUHPer.
2.      Konsepsi perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974, dapat dlihat dalam pasa 1 UU no.1/1974. Yang berisi :
Perkawinan adalah :
§  ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang wanita
§  sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
§  berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Unsur - Unsur dalam Konsepsi Perkawinan
Terdapat Unsur – unsur atau asas – asas tentang konsepsi perkawinan di dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
·         Unsur religius / Keagamaan
o   Pasal 2 ayat 1, Pasal 8 sub f, Pasal 29 ayat 2, Pasal 51 ayat 3
·         Unsur biologis
o   Pasal 4 sub c
·         Unsur Sosiologis
o   Pasal 7 ayat 1
·         Unsur Yuridis
o   Pasal 2 ayat 2, Pasal 35 ayat 1 dan 2, Pasal 36 ayat 1 dan 2, Pasal 37


LANDASAN FILOSOFIS PERKAWINAN
Pasal 2 KHI mempertegas landasan filosofis perkawinan sesuai dengan ajaran Islam tanpa mengurangi landasan filosofis perkawinan berdasarkan Pancasila yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Pasal l UU No 1 Tahun 1974, yaitu menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis perkawinan dengan mengaitkannya dengan sila pertama yakni berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inti perluasan dan penegasan landasan filosofis dalam pasal 2 KHI itu adalah :
1.      Perkawinan semata-mata “menaati perintah Allah.”
2.      Melaksanakan perkawinan adalah “ibadah”.
3.      Ikatan perkawinan bersifat miitsaaqan ghalizaa ( al-Nisaa : 21 ).
LANDASAN IDIIL PERKAWINAN
Landasan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk “keluarga bahagia dan kekal”, Pasal 3 KHI mempertegas dan memperluas nilai-nilainya dengan ruh Islami seperti yang digariskan dalam  QS. Al-Rum : 21 yakni untuk membentuk keluarga “sakinah, mawaddah dan rahmah”.
Dengan memahami landasan idiil dan operasional ini dengan baik dan sadar, tercakup di dalam keharusan yang bersifat mutuality mulai dari mutual cooperation, mutual help, mutual understanding, mutual relation dan mutual interdependency.
LANDASAN YURIDIS
Ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 meletakkan fundamentum yuridis perkawinan nasional, yakni :
·         Dilakukan menurut hukum agama, dan
·         Dicatat  menurut perundang-undangan yang berlaku.
Fundamentum yuridis tersebut diperjelas dalam pasal 4, 5, 6 dan 7 sejalan dengan penegasan itu diaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam. Dengan demikian KHI memuat aturan:
·         Sahnya perkawinan mesti dilakukan menurut hukum Islam.
·         Laki-laki Islam dilarang kawin dengan perempuan non Islam.
·         Setiap perkawinan harus dicatat.
·         Perkawinan baru sah apabila dilangsungkan di hadapan PPN.
·         Perkawinan di luar PPN adalah “perkawinan liar”.
·         Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN.
Penegasan ini sekaligus melepaskan dogmatis yang dikembangkan dan difahami selama ini yakni perkawinan sebagai invidual affair atau urusan pribadi. KHI menegaskan kepastian hukum dan ketertiban perkawinan dan keluarga masyarakat Islam. Bagi yang tidak mematuhinya akan menanggung resiko yuridis, yang tidak mendaftarkan perkawinannya dikualifikasi “perkawinan liar” dalam bentuk “compassionate marriage atau kawin “kumpul kebo”.

SYARAT – SYARAT PERKAWINAN
Menurut KUHPer / BW
Syarat Materil
·         Syarat Materil Umum, yang berlaku untuk seluruh perkawinan yang terdiri dari :
§  Kata Sepakat (Pasal 28 KUHPer)
§  Asas yang dianut Monogami mutlak (Pasal 27 KUHPer)
§  Batas usia (Pasal 29 KUHPer)
§  Tenggang waktu tunggu, 300 hari (Pasal 34 KUHPer)     
·         Syarat Materil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu, seperti :
§  Larangan Perkawinan (Pasal 30, 31, 32, 33 KUHPer)
§  Izin Kawin (Pasal 33, 35 – 38, 40, 42 KUHPer)
Syarat Formil
Mengenai Tata Cara Perkawinan, baik sebelum maupun setelah perkawinan

Sebelum Perkawinan :
·         Pemberitahuan / aangifte
Tentang kehendak kawin kepada pegawai catatan sipil, yaitu pegawai yg nantinya akan melangsungkan pernikahan
·         Pengumuman
Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Syarat Materil
·         Syarat Materil Umum  
·       Kata Sepakat  
·       Azas yang dianut, monogami tidak mutlak / monogamy terbuka 
·       Batas usia, laki – laki 19 tahun, perempuan 16 tahun
·       Jangka waktu    : 
o  cerai mati : 130 hari
o  cerai hidup : 3 kali suci
·         Syarat Materil Khusus
·       Larangan perkawinan (Pasal 7 UU no.1/1974)  
·       Izin Kawin (Pasal 6 ayat 2 UU no.1/1974)
Syarat Formil
·         Sebelum Perkawinan    :  
1.      Pemberitahuan   
2.      Penelitian 
3.       Pengumuman
·         Pelangsungan perkawinan 
Melaksanakan perkawinan Ada dua hal yang ingin dicapai dalam menguraikan rukun dan syarat perkawinan menurut Islam. Pertama, untuk mengatur secara Islami ketentuan syarat perkawinan yang diatur pada Bab II Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Aturan dalam pasal tersebut bersifat umum, tidak mengatur secara khusus rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam. Maksud Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 itu diatur secara jelas dan limitative oleh KHI dan Bab IV Pasal 14 - 29. Kedua, yang ingin dicapai ialah menghilangkan masalah ikhtilaf dalam rukun dan syarat perkawinan. Misalnya mengenai apakah saksi termasuk rukun atau tidak?. Pasal 14 KHI menetapkan secara tegas adanya dua orang saksi dalam pernikahan sebagai rukun. Di samping itu mengaktualkan beberapa nilai :
1.      Patokan nilai usia mempelai ( Pasal 15 KHI ), tidak lagi berdasarkan syariat yang mengambang pada ukuran akil balig, tetapi ditentukan secara definitif secara positif yakni 16 dan 17 tahun.
2.      Tidak diperbolehkan kawin paksa (Pasal 16 dan 17 ), calon mempelai perempuan diberi peluang untuk melakukan penolakan. 
3.      Tidak diperkenankan mempermudah kewenangan “wali hakim”, tetapi harus lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama.
4.      Mengenai pelaksanaan ijab Kabul KHI menjatuhkan pilihan :
-        Tetap bersifat “majelis” berhadapan langsung.
-        Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa mengurangi hak wanita untuk menolak.
Pasal 29 KHI tidak membenarkan pelaksanaan ijab dan Kabul “jarak jauh” melalui sarana komunikasi. Dalam hal calon mempelai berhalangan memilih alternatif dengan seorang “kuasa”.

LARANGAN KAWIN
Larangan kawin yang diatur dalam Pasal 88 UU No. 1 Tahun 1974 dikemukakan secara halus oleh KHI dan diselaraskannya dengan ketentuan hukum Islam. Penyelarasan ini mengambil sumber dari Al Quran dan telah diadopsi oleh kitab-kitab fikih berupa :
-              Larangan umum perkawinan :
1.      Larangan kawin karena pertalian “nasab”.
2.      Larangan kawin karena pertalian “semenda”.
3.      Larangan kawin karena pertalian “sesusuan”.
-              Larangan khusus perkawinan bagi seorang perempuan :
1.      Karena masih terikat dalam perkawinan yang sah.
2.      Masih berada dalam masa iddah.
3.      Apabila calon suami ‘tidak beragama Islam”.
-              Larangan khusus perkawinan bagi seoang lelaki :
1.      Mengawini perempuan yang tidak beragama Islam’
2.      Memadu dua orng perempuan saudara sekandung, seayah atau seibu serta keturunannya atau bibi atau kemenakannya dalam waktu bersamaan.
3.      Melangsungkan perkawinan lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan.
Lebih lanjut mennngenai larangan ini dapat dipelajari dalam Bab IV.

AKIBAT PERKAWINAN
A.    Akibat Perkawinan Terhadap Diri Pribadi
Hak dan Kewajiban suami istri dalam KUHPer :
1.      Pasal 103 KUHPer, harus setia – mensetiai dan tolong menolong
2.      Pasal 105 KUHPer, suami adalah kepala rumah tangga, suami wajib memberi bantuan kepada istri/mewakili istri di pengadilan, suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, suami harus mengurus harta kekayaan sebagaimana seorang bapak rumah yang baik dan bertanggungjawab atas segala kealpan dalam pengurusan tersebut, suami tidak diperbolehkan memindahtangakan/membebani harta kekayaan tak bergerak milik istri tanpa persetujuan istri
3.      Pasal 106 KUHPer, istri harus tunduk dan patuh pada suaminya
4.      Pasal 107 KUHPer, suami wajib menerima diri istrinya dalam rumah yang didiami, suami wajib melindungi dan memberi apa yang perlu dan berpautan dengan kedudukan dan kemampuannya
5.      Pasal 108 KUHPer, istri tidak berwenang untuk bertindak dalam hukum
6.      Pasal 110 KUHPer, seorang istri tidak boleh menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya 
Hak dan Kewajiban suami istri dalam UU No.1 Tahun 1974 :
1.      Pasal 30, suami istri wajib menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat
2.      Pasal 31
-              ayat 1, hak dan kedudukan suami istri seimbang
-              ayat 2, masing – masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum
-              ayat 3, suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
3.      Pasal 32, suami istri harus mempunyai tempat kediaman tetap yang ditentukan suami istri bersama
4.      Pasal 33, suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin
5.      Pasal 34, suami wajib melindungi istri, memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuan, istri wajib mengatur urusan rumah tangg sebaiknya, jika salah satu gagal/melakukan kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan pada pengadilan
KHI dalam Bab XII mengatur hak dan kewajiban suami istri. Prinsip aturan itu hampir sama dengan aturan yang digaruskan dalam Bab VI UU No. 1 Tahun 1974. Materi pasal-pasal Bab XII secara tersirat dan tersurat telah melenturkan makna al-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisaa. Tujuannya dapat difahami :
a.       Untuk mewujudkan cita-cita sakinah, mawadddah dan rahmah menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama ( Pasal 77 ayat (1).
b.      Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan pendidikan anak dengan asas tanggung jawab bersama ( Pasal 77 (3) ).
c.       Menghapuskan diskriminasi normative dalam pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan persamaan hak, yakni :
·         Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan tempat kediaman.
·         Menyeimbangkan harkat derajat suami istri secara “fungsional” berdasarkan asas “kodrati alamiah” dan biologis dalam acuan :
·         Suami sebagai “kepala keluarga” (chief of the family ).
·         Isteri sebagai “ibu rumah tangga” ( Pasal 79 ayat (1) ).
·         Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam kehidupan masyarakat dengan sama-sama berhak aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan sama-sama berhak mengembangkan profesi dan karir.
Suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama atas tindakan “kelalaian” (neglisence), “penolakan” (refuse) atau “ketidakmampuan” (failure), dan Kewajiban (Pasal 77 ayat (5)).
Dari uraian singkat itu difahami bahwa KHI telah mengembangkan suatu wawasan “keseimbangan” yang proporsional tanpa mengabaikan sifat kodrati alamiah berdasarkan biologis dan psikologis.
 
B.     Akibat Perkawinan Terhadap Harta Benda Suami Istri
Menurut KUHPer adalah harta campuran bulat dalam pasal 119 KUHPer harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama meliputi seluruh harta perkawinan yaitu :
1.      Harta yang sudah ada pada waktu perkawinan
2.      Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
Namun, ada pengecualian bahwa harta tersebut bukan harta campuran bulat yaitu apabila terdapat :
1.      Perjanjian kawin
2.      Ada hibah/warisan, yang ditetapkan oleh pewaris Pasal 120 KUHPer
Menurut Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, yaitu :
1.      Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan
2.      Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan. Penguasaannya tetap pada masing – masing suami istri yang membawanya ke dalam perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan lain.

Pelembagaan Harta Bersama
Harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur secara singkat dalam Bab VII. Undang-undang ini menyerahkan pelaksanaan penerapannnya berdasarkan ketentuan nilai-nilai adat. Sementara dalam hukum Islam hal itu tidak diatur. Dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar manfaatnya dari mudlaratnya. Atas dasar metodologi “istishlah” (maslahah mursalah) dan ‘urf dengan kaedah al’adah muhakkamah, KHI menetapkan pendekatan kompromis kepada hukum Adat. Pokok-pokok aturan harta bersama yang dikemukakan dalam Bab XIII KHI secara singkat dapat dilihat berikut ini :
1.      Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing:
-        Harta pribadi tetap menjadi hak milik pribadi dan dikuasasi sepenuhnya  oleh pemiliknya ( suami atau istri).
-        Harta bersama menjadi hak bersama suami istri dan terpisah dari harta pribadi.
2.      Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan :
-        Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama.
-        Tanpa mempersoalan siapa yang mencari.
-        Tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar.
3.      Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau memindahkannya.
4.      Utang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
5.      Dalam perkawinan serial atau poligami wujud harta bersama terpisah antara suami dengan masing-masing istri.
6.      Apabila perkawinan pecah (mati, cerai) :
-        Harta bersama dibagi dua.
-        Masing-masing mendapat setengah bagian.
-        Apabila terjadi cerai mati, bagiannya menjadi tirkah.
7.      Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai ( Pasal 95 ) :
-          Ketentuan ini perluasan dari Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975.
-          Suami atau istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabla salsh satu pihak boros atau pejudi.

C.     Akibat Perkawinan Terhadap Anak Keturunan (Pasal 250 Kuhper)
Pasal 250 KUHPer, Tiap – tiap anak yang dilahrikan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya (tentang anak sah)
Anak Sah Menurut Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974, adalah :
"Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah"
Penyangkalan anak dapat dilakukan menurut Pasal 251 – 254 KUHPer, jika :
1.      Dilahirkan sebelum 180 hari sejak saat perkawinan
2.      Jika masa 180 + 300 hari, belum pernah berhubungan tetapi istri melahirkan
3.      Istri melakukan perzinahan
4.      Anak dilahirkan setelah lewat 300 hari, keputusan hakim sejak perpisahan meja dan tempat tidur
Penyangakalan anak,
1.    Dilakukan oleh suami sendiri, maka :
a.    Satu bulan ia berada di tempat
b.    Dua bulan sesudah ia kembali dari bepergian
c.    Kehadiran disembunyikan dua bulan
2.    Dilakukan oleh ahli waris suami, setelah 2 bulan suami meninggal
Pembuktian Anak Sah, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dua akte, yaitu :
1.            Akte perkawinan, milik ibu
2.            Akte kelahiran, dari ibu mana anak tersebut dilahirkan
Selain itu, dapat dilakukan pembuktian langsung/nyata yaitu :
1.            Memakai nama keluarga Ayah
2.            Masyarakat sekitar mengakui
3.            Ayah memperlakukan baik keluarga lainnya
Anak diluar kawin/natuurlijk kind apabila diakui melalui akte pengakuan anak maka akan menimbulkan hubungan hukum dengan suami/istri yang mengakui. Apabila tidak diakui maka tidak ada hubungan hukum.
Kekuasaan Orang Tua / Ouderlijke Macht
Kekuasaan orangtua meliputi dua hal, yaitu :
1.      Diri anak ; kebutuhan fisik anak
2.      Harta anak ; pengurusan harta sang anak
Sifat kekuasaan orangtua menurut KUHPer adalah kekuasaan kolektif yang dipegang oleh Ayah
Sifat kekuasaan orangtua menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah kekuasaan tunggal yang ada pada masing – masing pihak ayah dan ibu
Pencabutan kekuasaan orangtua dapat dilakukan (Pasal 49 UU No.1 1974), apabila :
1.      melalaikan kewajiban sebagi orangtua
2.      berkelakukan buruk
3.      Dihukum karena suatu kejahatan  

D.    Akibat Perkawinan Yang Lain
Mengenai hubungan darah adalah sebagai berikut :
1.      Anak terhadap orangtua. Anak yang sah mempunyai hubungan darah yang sah baik dengan ayah maupun ibunya
2.      Anak terhadap ibunya (Pasal 280 KUHPer dan UU No. 1 tahun 1974). Menurut KUHPer, anak diluar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ibu apabila sang ibu mengakuinya.
Menurut UU No. 1/1974, setiap anak secara otomatis mempunyai hubungan darah dengan ibunya
Anak terhadap ayahnya, menurut KUHPer seorang anak luar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ayahnya kalau sang ayah mengakuinya secara sah

KETENTUAN PERJANJIAN KAWIN
Perjanjian kawin diatur dalam Bab V UU No. 1 Tahun 1974. Sehubungan dengan telah dilembagakan kedudukan harta bersama dalam perkawinan, KHI menjabarkan lebih lanjut aturan perjanjian perkawinan itu. KHI mengenal bentuk perjanjian :
1.      Taklik talak.
2.      Perjanjian lain asal tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Bentuk perjanjian kawin yang lain itu meliputi :
a.       Menyangkut kedudukan harta dalam perkawinan :
-          Boleh percampuran harta pribadi dengan harta dalam perkawinan.
-          Pemisahan harta pencarian masing-masing. Hal ini ditujukan untuk istri atas hasil pencariannya.
-          Kewenangan pembebanan harta pribadi dan harta bersama.
-          Perjanjian kawin mengenai harta tidak boleh menghilanngkan kewajiiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
b.      Perjanjian kawin dalam perkawinan poligami mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga.
.
ATURAN POLIGAMI
Aturan pembatasan dan penerapan syarat-syarat dan kemestian ikut campur tangan penguasa yang dikemukakan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih seluruhnya oleh KHI. Pengambilalihan itu merupakan langkah maju secara dinamis dalam mengaktualisasikan hukum Islam di bidang perkawinan. Kebolehan poligami:
1.            Harus didasarkan pada alasan-alasan :
·         Istri tidak dapat menjalankan kewajiban.
·         Istri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan.
·         Istri mandul.
·         Harus memenuhi pula syarat :
a.       Mesti ada persetujuan istri.
b.      Mampu berlaku adil.
c.       Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan.
2.            Harus ada izin Pengadilan Agama.
Dengan ketentuan-ketentuan itu harus disadari bahwa poligami tidak lagi individual affair (semata-mata urusan pribadi), tetapi juga telah menjadi urusan kekuasaan Negara, yaitu mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa ada izin dari Pengadilan Agama, dianggap “poligami liar”, tidak sah dan tidak mengikat. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan diangggap never existed, meskipun dilakukan di hadapan PPN.

PENCEGAHAN PERKAWINAN
Materi KHI tentang pencegahan pekawinan pada dasarnya mengambil alih ketentuan yang diatur dalam Bab III UU No. 1 Tahun 1974, namun ada satu tambahan penegasan berupa pencegahan atas alasan “perbedaan agama”. Alasan pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang Islam, pasal 61 menjelaskan bahwa salah satu alasan pencegahan adalah karena perbedaan agama. Pencegahan itu dilakukan dengan kemestian atas campur tangan Pengadilan Agama. Selama belum ada izin dari pengadilan maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan.

PEMBATALAN PERKAWINAN
Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab XI KHI. Materi rumusannya sama dengan rumusan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974, namun rumusan KHI secara jelas membedakan alasan pembatalan :
1.      Pembatalan karena pelanggaran larangan, “batal demi hukum” ( Pasal 70 ).
2.      Pembatalan karena pelanggaran syarat, “dapat dibatalkan” ( Pasal 71 ).
Pembatalan perkawinan itu harus ada campur tangan kekuasaan Negara yaitu Pengadilan Agama untuk kepastian hukum dan ketertiban umum.

PEMBUAHAN ANAK SECARA TEKNOLOGI
Dalam Bab XIV diatur mengenai pemeliharaan anak. Materinya hampir sama dengan Bab IX UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 99 mengemukakan mengenai pengabsahan kebolehan mempergunakan teknologi kedokteran dalam kelahiran anak :
-        Sah dan dibolehkan pembuahan anak di luar rahim.
-        Asal pembuahan itu dari sperma istri, dan dilahirkan oleh istri sendiri.
-        Tidak dibenarkan penyewaan atau mempergunakan rahim perempuan lain.
PEMELIHARAAN ANAK DALAM PERCERAIAN
Pasal 105 KHI menggariskan secara pasti tentang pemeliharaan anak dalam perceraian :
·         Selama belum mumayyiz dengan patokan usia 12 tahun, yang berhak memellihara anak ialah ibunya.
·         Yang sudah berumur 12 tahun ke atas, diberikan kebebasan kepada anak untuk memilih antara ayah dan ibu.
·         Biaya pemeliharaan anak ditanggung ayah.
·         Batas pemeliharaan anak ditingkatkan menjadi 21  tahun ( Pasal 98 ) .
·         Tujuannya untuk memikulkan keharusan kepada orang tua untuk meningkatkan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan pendidikan anak.
PERWALIAN
KHI memperluas jangkauan perwalian seperti yang telah dimuat dalam Bab XI UU No. 1 Tahun 1974. Perluasan itu disesuaikan dengan hukum Islam:
1.      Selama salah seorang orang tua masih hidup dan waras :
·         Belum terbuka perwalian menurut hukum Islam.
·         Kedudukan anak masih tetap berada di bawah kekuasaan orang tua yang masih hidup.
2.      KHI tidak mengatur “pengawasan” perwalian.
POKOK-POKOK ATURAN PERCERAIAN
Aturan perceraian yang dirumuskan dalam Bab XVI sampai dengan Bab XIX KHI merupakan perluasan dari ketentuan perceraian yang diatur dalam Bab VIII UU No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV dan Bab VII PP No. 9 Tahun 1975. Hal-hal yang  dibicarakan di sini adalah:
1.      Campur tangan Pengadilan dalam perceraian :
·         Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama ;
·         Bentuk perceraian terdiri dari “cerai talak dan cerai gugat”
·         Perceraian di luar Pengadilan Agama tidak sah dan tidak mengikat (talak liar).
2.      Penambahan alasan cerai
Gugat cerai baru memenuhi syarat formal dan materiil apabila didasarkan atas alasan yang sah. Alasan cerai yang sah telah ditetapkan secara enumerative dalam Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo. Penjelasan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974;
Alasan tambahan dalam pasal Pasal 116 KHI:
·         Karena suami melangggar taklik talak;
·         Peralihan agama ( murtad )
3.      Lembaga Li’an
·         Lembaga li’an tetap dipertahankan dan dapat digunakan oleh suami sebagai bukti  perbuatan zina yang dilakukan oleh istri.
·         atau untuk mengingkari anak yang ada dalam kandungan istri.
4.      Meningkatkan proses cerai talak menjadi contentiosa.
Peningkatan proses itu diatur dalam Pasal 138 KHI dan diperbaiki oleh Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian penerapan cerai talak:
·         Ditingkatkan menjadi contensiosa ;
·         Suami sebagai pihak “pemohon” (pengggugat) dan istri sebagai “termohon” (tergugat);
·         Proses pemeriksaan dilakukan berdasarkan asas audi et alteram partem.
5.      Kepastian hukum atas rujuk Pasal 167 KHI mengatur tentang:
·         Penertiban rujuk kearah kepastian hukum ;
·         Rujuk harus secara bilateral, istri harus setuju, tidak ada paksaan ;
·         Rujuk baru sah dan mengikat bila dilakukan di hadapan PPN dan dihadiri oleh saksi-saksi dan PPN ;
·         Dibuat catatan dalam buku daftar rujuk yang ditanda tangani oleh suami istri, saksi-saksi dan PPN.



















Referensi :
·         M. Yahya Harahap, SH., Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
·         Pokok-Pokok Hukum Perdata (Prof. Subekti, SH) 
·         Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat( Dr.Wienarsih Imam Subekti, SH,MH, Sri Soesilowati Mahdi, SH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar