Selasa, 15 Januari 2013

CONTOH ANALISIS DENGAN METODE IRAC




1.      JUDUL :
Analisis Kasus Kecelakaan Maut Tugu Tani (Afriani Susanti)

2.      SEJARAH PROSEDUR

·         Ancaman yang mungkin dituduhkan pada Afriani :
Ø  Pasal 338 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Ø  Pasal 127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman 4 tahun penjara.
Ø  Pasal 310 UU no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angukutan jalan, dengan ancaman maksimum 6 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00.
Ø  Pasal 311 ayat 5 UU no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angukutan jalan, dengan ancaman maksimum 12 tahun penjara atau denda maksimum Rp.12.000.000,00.
Ø  Pasal 311 ayat 4 UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dengan ancaman maksimum 10 tahun penjara.
·         Pada 29 Agustus 2012 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus tersangka Afriani, tersangka kasus maut tugu tani yang menewaskan 9 orang  dengan 15 tahun penjara.


3.      PERNYATAAN FAKTA

·         Afriyani Susanti, pada Minggu (22/1) mengendarai Daihatsu Xenia di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat. Di kawasan itulah, mobil Xenia menabrak 12 orang pejalan kaki, yang menyebabkan 9 orang tewas dan sisanya luka-luka.
·         Saat mengendarai mobil tersebut Afriyani dalam kondisi mabuk. Sebelum kejadian itu, Afriyani terbukti mengkonsumsi narkoba dan minuman keras.

4.      ISU

1)      Apakah Afriani mempunyai niat untuk membunuh dengan cara menabrak.?
2)      Berapa lama hukuman penjara yang layak diterima oleh Afriani.?

5.      ANALISIS
Terkait kecelakaan maut mobil Xenia yang menabrak 12 pejalan kaki, Apriani Susanti sipengemudi mobil menjadi tersangka. Apakah Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dikenai kepada tersangka dengan dalih, di Tahun 1994 Jaksa Penuntut Umum (JPU) pernah menuntut sang supir metromini yang nyebur ke Sungai Sunter di Jakarta yang menewaskan sekitar 32 orang dengan Pasal 338 KUHP yaitu Pasal tentang pembunuhan, yang kemudian Hakim sependapat dengan JPU dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 338 KUHP.
Menurut hemat penulis, Pasal 338 KUHP tidak dapat dikenakan pada Tersangka Apriani Susanti. Untuk itu kita cek pada unsur-unsur Pasal 338 KUHP.
Unsur-unsur Pasal 338 KUHP.
1. Barang siapa
2. dengan sengaja
3. menghilangkan jiwa orang lain/merampas nyawa orang lain (R.Soesilo/Prof.Moeljatno)

ad. 1 Barang Siapa
yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah subjek pelaku dari suatu perbuatan pidana dan orang tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab serta dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya secara hukum.
Dalam kasus Tugu Tani, Barang siapa dikenakan kepada Apriani Susanti. Apriani Susanti adalah orang perorangan sehingga dapat dipidana, serta memiliki kemampuan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum dalam artian di dalam diri Apriani Susanti tidak terdapat unsur penghapus pidana baik unsur pemaaf (misalnya Pasal 44 KUHP tentang tidak dapat dipidananya orang-orang yang tidak sempurna akalnya/sakit jiwa, Pasal 49 ayat (2) KUHP noodweer exces/ pembelaan darurat yang melampaui batas)ataupun unsur pembenar (misalnya Pasal 48 KUHP (overmacht), Pasal 49 ayat (1) noodweer/ pembelaan darurat, Pasal 50 KUHP perbuatan karena menjalankan undang-undang misalnya eksekutor hukuman mati, Pasal 51 KUHP perbuatan atas perintah jabatan oleh kuasa yang berhak akan itu)
ad. Dengan Sengaja
Unsur dengan sengaja dapat diuraikan sebagai berikut:
Sengaja (dolus) terdiri dari WETTEN/berkeinsafan/mengetahui dan WILLEN/menghendaki.
Dalam teori tentang diketahui dan dikehendaki, terdapat 2 aliran, yaitu:
o Teori Kehendak (wilstheorie).
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan perkataan lain: sengaja apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, dan boleh dikatakan bahwa akibat dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.
o Teori mengetahui (voorstellingstheorie).
Kesengajaan ialah: kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut undang-undang.

Maka dapat dikatakan, seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja apabila ia mengetahui bahwa dengan dilakukannya suatu perbuatan akan timbul atau mengakibatkan suatu akibat tertentu dan ia menghendaki akibat tersebut.
Terkait perbuatan Apriani Susanti:
Dapat dikategorikan dengan sengaja, apabila ketika melakukan perbuatannya tersebut, tersangka dengan akal sehatnya atau dengan kesadarannya MENGETAHUI bahwa dengan dengan mengendarai Xenia dalam kondisinya saat itu, maka dapat mengakibatkan tertabraknya 12 penjalan kaki dan Apriani MENGHENDAKI tertabraknya 12 pejalan kaki tersebut.
Terkait dengan unsur Dengan sengaja, terdapat teori Kesengajaan yang ddibagi atas:
a.Kesengajaan sebagai suatu tujuan (opzet als oogmerk)
Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah benar-benar sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan si pelaku.
Terkait dengan kasus Apriani Susanti, apabila dikategorikan unsur dengan sengajanya sebagai kesengajaan sebagai Tujuan atau maksud terhadap Pasal 338 KUHP, maka Matinya 9 orang pejalan kaki di tugu tani adalah merupakan perwujudan dari maksud dan tujuan dari Apriani Susanti. Akan tetapi jika berpandangan terhadap teori hukum dan sikap objektif, maka teori kesengajaan ini tidak dapat menjadi dasar pemenuhan unsur dengan sengaja pada Pasal 338 KUHP terhadap kasus kecelakaan tugu tani.

b.Kesengajaan sebagai suatu keinsafan kepastian (ipzet bij zekerheidsbewustzijn).
Sipelaku menyadari/menginsyafi bahwa perbuatannya itu pasti akan menimbulkan akibat lain selain akibat utama yang menjadi tujuannya, tetapi demi tercapainya akibat utama, maka akibat lain tersebut tidaklah menjadi penghalang bahkan diambilnya sebagai resiko untuk mencapai tujuan utama.
Terkait peristiwa tugu tani, penulis blog berpendapat teori kesengajaan sebagai kepastian ini pun tidak dapat dijadikan sebagai pemenuhan unsur dengan sengaja terhadap Pasal 338 KUHP, karena sejak awal, pelaku memang tidak menghendaki kematian dari siapapun dari kesembilan korban kecelakaan tersebut.
c.Kesengajaan sebagai suatu keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn).
Terjadi bila sipelaku sengaja melakukan sesuatu dan atau untuk menimbulkan suatu akibat tetapi ia menginsyafi bila perbuatan itu ia teruskan mungkin akan menimbulkan akibat lain tetapi timbulnya akibat lain tersebut tidaklah menjadi penghalang bahkan diambilnya sebagai resiko untuk mencapai tujuan utama.
Terkait kasus kecelakaan di tugu tani, mungkin apabila sangat teramat dipaksakan pemenuhan unsur dengan sengaja terhadap Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, maka teori kesengajaan sebagai kemungkinan inilah yang paling dapat digunakan. namun perlu digarisbawahi bahwa teori ini berdekatan dengan teori Culpa /dengan lalainya. Oleh karena itu penulis berpendapat, ketentuan hukum memberikan perbedaan antara perbuatan dengan sengaja, dengan perbuatan karena lalainya meskipun akibat yang ditimbulkan adalah sama, misalnya akibatnya hilangnya nyawa seseorang. Tujuan dari pembedaan itu adalah demi tercapainya keadilan. Kelalaian tidak akan menghapus pidana, tetapi dapat meringankan pidana. tidaklah mungkin penghukuman dilakukan sama terhadap orang yang memang niatnya membunuh dengan orang yang tidak berniat membunuh. orang yang berniat membunuh (dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain) memiliki kendali atas perbuatannya, dia dapat mundur kapan saja apabila ia menghendakinya, namun orang yang tidak sengaja, tidak memiliki kendali atas hal tersebut.


ad.3 menghilangkan jiwa orang lain/merampas nyawa orang lain
Dalam tragedi Tugu Tani, terdapat 9 (sembilan) nyawa yang melayang akibat ditabrak oleh mobil xenia yang dikendarai oleh Afriani. Namun walau demikian rasanya kurang tepat jika digunakan terhadap Afriani, karena  telah ada undang-undang yang mengatur khusus tentang kecelakaan lalu lintas yaitu UU R.I Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


1. Kecelakaan lalu lintas.
di dalam KUHP terdapat Pasal yang mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang yang terdapat dalam Pasal 359 KUHP. terhadap kecelakaan lalu lintas, umum nya pasal ini yang dipergunakan. Namun sejak diundangkannya UURI No.22 Tahun 2009 Tentang LLAJ, maka dianut prinsip lex specialist derogate lege generalis yang artinya ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum, sehingga UURI No.22 Tahun 2009 lah yang paling tepat dipergunakan.
Pasal 310 UURI No.22 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,-
Namun sebagaimana ancaman pidana pada Pasal 310 ini tertinggi adalah 6 tahun, masyarakat beranggapan tidak adil jika dipandang dari jatuhnya korban sebanyak 9 jiwa.
Penulis sendiri berpendapat, ada Pasal lain dalam UURI No.22 Tahun 2009 yang dapat dikenai pada Apriani Susanti, yaitu Pasal 311 ayat (5) UURI No.22 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
Pasal ini dirasa tepat karena, Apriani Susanti tidak berniat membunuh siapapun, tetapi Apriani Susanti mengetahui dan menghendaki mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara (kecepatannya mencapai 60/70 km/jam) atau keadaan (dipengaruhi minuman keras, narkotika) yang membahayakan bagi nyawa orang lain. Penulis berpendapat bahwa Pasal 311 ayat (5) ini adalah jawaban atas rasa keadilan yang diharapkan terhadap prilaku pengemudi yang mengemudikan kendaraannya sewenang-wenang.. dengan pembelajaran kasus kecelakaan metromini tahun 1994 silam, dan kini kasus Tragedi Tugu tani.
2. Penggunaan Narkotika.
Pasal 112 ayat (1) Subsider Pasal 127 ayat (1) UURI No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Pasal 112 ayat (1) berbunyi Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
Terkait pelaku Apriani Susanti, apapbila dikenai Pasal 112 ayat (1) tersebut, harus dapat dibuktikan bahwa pada saat itu Ia nya memiliki atau menyimpan, atau terdapat dalam kuasanya, atau menyediakan Narkotika Golongan I. Namun sejauh ini, berdasarkan pemberitaan media, pemberi Narkotika Gol. 1 kepada Aprini dan teman-temannya dinyatakan DPO,

sehingga dapat dikatakan ada kemungkinan besar Apriani Susanti, bukan pemilik, atau bukan penyimpan, atau bukan penguasa, atau bukan penyedia Narkotika tersebut, tapi sebatas pemakai sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Penyalah Gunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama  4 (empat) tahun;


STELSEL PEMIDANAAN
Pasal 10 KUHP memperinci hukuman pokok antara lain: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Terhadap hukuman penjara terdapat 2 jenis yaitu Penjara seumur hidup dan penjara sementara. Terhadap pidana penjara sementara paling singkat 1 hari dan paling lama 15 tahun, akan tetapi terhadap pemberatan pidana (misalnya residiv, Pasal dikualifisier/Pasal pemberatan 340 KUHP terhadap 338 KUHP (perbedaan terdapat pada unsur "dengan rencana") dapat mencapai maksimal 20 tahun. dengan perkataan lain, di Indonesia terhadap hukuman penjara sementara TIDAK AKAN LEBIH DARI 20 TAHUN.

Terhadap Tindak Pidana perbarengan (tindak pidana lebih dari satu) dikenal 4 Stelsel pemidanaan, diantaranya:
1.      Kumulasi murni atau penjumlahan murni.
Jika menganut stelsel ini, maka terhadap ketentuan pidana dari seluruh tindak pidana yang dilakukan, dijumlahkan.
Terhadap kasus Apriani Susanti, Penulis berpendapat Pasal yang dapat dikenai terhadap Apriani adalah 311 ayat (5) UURI No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan pidana maksimal 12 tahun dan Pasal 127 ayat (1) UURI No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan pidana maksimal 4 tahun penjara, maka berdasarkan stelsel pemidanaan ini, Apriani Susanti dapat dipidana dengan pidana penjara selama 16 tahun penjara.
Stelsel Kumulasi Murni ini tidak diberlakukan di Indonesia.

2.      Absorbi Murni atau Penyerapan Murni
dalam stelsel pemidanaan ini, pidana tertinggi menyerap pidana lainnya sehingga pidana yang dikenai terhadap pelaku adalah sebatas pidana tertinggi saja, dengan demikian terhadap Apriani Susanti hanya dipidana selama 12 tahun saja dengan anggapan pidana 4 tahun telah diserap oleh pidana yang tertinggi yaitu 12 tahun. Namun stelsel pemidanaan seperti ini dinilai tidak menjunjung rasa keadilan karena tindak pidana selain tindak pidana dengan ketentuan pidana tertinggi tidak diperhitungkan.
Indonesia tidak menganut stelsel pemidanaan absorbi murni.
3.      Kumulasi terbatas.
Dalam stelsel pemidanaan ini, penjumlahan pidana dapat dilakukan dengan batasan (kumulasi terbatas) bahwa hasil penjumlahan pidana tersebut tidak melebihi pidana tertinggi ditambah sepertiga dari pidana tertinggi tersebut dan tidak melebihi ketentuan pidana penjara sementara tertinggi adalah 20 tahun penjara.
terhadap kasus Apriani Susanti, pemidanaannya dapat dijumlahkan menjadi 12 + 4 = 16 tahun penjara, namun tidak sampai disitu saja, kita harus mengecek batas kumulatifnya yaitu tidak melebihi pidana maksimal + sepertiga pidana maksimal. yaitu 12 + 4 (sepertiga dari 12) = 16 tahun. Ternyata kumulasi (penjumlahan) terhadap 2 ancaman pidana yang dikenai terhadap Apriani Susanti tidak melewati ambang batas, sehingga dapat dipergunakan, yaitu pidana penjara selama 16 tahun.

Pemisalan yang lain, terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dengan pidana 20 tahun penjara, dilakukan pula pencurian dengan pidana selama 5 tahun, maka pemidanaannya seharusnya 20 tahun + 6,6 tahun, sehingga selama 26 tahun 6 bulan. Namun meskipun telah tunduk pada pembatasan pidana maksimal ditambah sepertiga pidana maksimal, tapi masih ada pembatasan berikutnya yaitu, pidana penjara sementara tidak melebihi 20 tahun, dan 26 tahun 6 bulan tersebut telah melampau ambang batas 20 tahun, maka yang dikenakan adalah 20 tahun penjara. Hal ini tidak berarti terhadap ketentuan pidana pencurian tidak diperhitungkan sebagaimana stelsel absorbi murni, hanya saja ada ketentuan pidana penjara sementara untuk pemberatan adalah 20 tahun.
Indonesia menganut stelsel pemidanaan Kumulatif terbatas ini.

4.      Absorbsi dipertajam.

Stelsel pemidanaan ini hampir sama dengan kumulasi terbatas, hanya saja sistem nya berbeda meskipun hasil akhirnya sama. yaitu pidana tertinggi menyerap pidana lainnya kemudian terhadap pidana tertinggi tersebut ditambahkan sepertiga dari pidana tertinggi dimaksud.
6.      KESIMPULAN


Ø  Pasal Yang Dikenakan
terhadap Peristiwa kecelakaan maut di Tugu Tani yang menelan korban 9 orang meninggal dunia dengan pelaku adalah Apriani Susanti, penulis berpendapat pelaku dapat dijerat dengan Pasal 311 ayat (5) UURI No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan pidana maksimal selama 12 tahun penjara DAN Pasal 127 ayat (1) UURI No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Ø  Penjatuhan Pidana
Berdasarkan stelsel pemidaan perbarengan dengan stelsel kumulatif terbatas, maka sesuai ketentuan pidana yang dikenakan kepada tersangka Apriani Susanti, dapat dijatuhi pidana maksimal 12 tahun + 4 tahun (sepertiga dari 12 tahun) = 16 Tahun penjara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar