![]() |
1.
JUDUL
:
Analisis
Kasus Kecelakaan Maut Tugu Tani (Afriani Susanti)
2.
SEJARAH
PROSEDUR
·
Ancaman yang mungkin dituduhkan pada
Afriani :
Ø Pasal
338 KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Ø Pasal
127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman 4 tahun
penjara.
Ø Pasal 310 UU no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan
angukutan jalan, dengan ancaman maksimum 6 tahun dan denda
paling banyak Rp 12.000.000,00.
Ø Pasal 311 ayat 5 UU no 22 tahun 2009 tentang lalulintas
dan angukutan jalan, dengan ancaman maksimum 12 tahun penjara atau denda
maksimum Rp.12.000.000,00.
Ø Pasal 311 ayat 4 UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan dengan ancaman maksimum 10 tahun penjara.
·
Pada 29 Agustus 2012 Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat memutus tersangka Afriani, tersangka kasus maut tugu tani
yang menewaskan 9 orang dengan 15 tahun
penjara.
3.
PERNYATAAN
FAKTA
·
Afriyani
Susanti, pada Minggu (22/1) mengendarai Daihatsu Xenia di kawasan Tugu Tani,
Jakarta Pusat. Di kawasan itulah, mobil Xenia menabrak 12 orang pejalan kaki,
yang menyebabkan 9 orang tewas dan sisanya luka-luka.
·
Saat
mengendarai mobil tersebut Afriyani dalam kondisi mabuk. Sebelum kejadian itu,
Afriyani terbukti mengkonsumsi narkoba dan minuman keras.
4.
ISU
1) Apakah
Afriani mempunyai niat untuk membunuh dengan cara menabrak.?
2) Berapa
lama hukuman penjara yang layak diterima oleh Afriani.?
5.
ANALISIS
Terkait
kecelakaan maut mobil Xenia yang menabrak 12 pejalan kaki, Apriani Susanti
sipengemudi mobil menjadi tersangka. Apakah Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dapat dikenai kepada tersangka dengan dalih, di Tahun 1994 Jaksa
Penuntut Umum (JPU) pernah menuntut sang supir metromini yang nyebur ke Sungai
Sunter di Jakarta yang menewaskan sekitar 32 orang dengan Pasal 338 KUHP yaitu
Pasal tentang pembunuhan, yang kemudian Hakim sependapat dengan JPU dan
menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 338
KUHP.
Menurut
hemat penulis, Pasal 338 KUHP tidak dapat dikenakan pada Tersangka Apriani
Susanti. Untuk itu kita cek pada unsur-unsur Pasal 338 KUHP.
Unsur-unsur
Pasal 338 KUHP.
1.
Barang siapa
2.
dengan sengaja
3.
menghilangkan jiwa orang lain/merampas nyawa orang lain
(R.Soesilo/Prof.Moeljatno)
ad. 1 Barang Siapa
yang
dimaksud dengan “barang siapa” adalah subjek pelaku dari suatu perbuatan pidana
dan orang tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab serta dapat
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya secara hukum.
Dalam
kasus Tugu Tani, Barang siapa dikenakan kepada Apriani Susanti. Apriani Susanti
adalah orang perorangan sehingga dapat dipidana, serta memiliki kemampuan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum dalam artian di dalam diri
Apriani Susanti tidak terdapat unsur penghapus pidana baik unsur pemaaf
(misalnya Pasal 44 KUHP tentang tidak dapat dipidananya orang-orang yang tidak
sempurna akalnya/sakit jiwa, Pasal 49 ayat (2) KUHP noodweer exces/
pembelaan darurat yang melampaui batas)ataupun unsur pembenar (misalnya Pasal
48 KUHP (overmacht), Pasal 49 ayat (1) noodweer/ pembelaan
darurat, Pasal 50 KUHP perbuatan karena menjalankan undang-undang misalnya
eksekutor hukuman mati, Pasal 51 KUHP perbuatan atas perintah jabatan oleh
kuasa yang berhak akan itu)
ad.
Dengan Sengaja
Unsur
dengan sengaja dapat diuraikan sebagai berikut:
Sengaja
(dolus) terdiri dari WETTEN/berkeinsafan/mengetahui dan WILLEN/menghendaki.
Dalam
teori tentang diketahui dan dikehendaki, terdapat 2 aliran, yaitu:
o
Teori Kehendak (wilstheorie).
Menurut
teori kehendak, sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak
menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan perkataan lain: sengaja
apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, dan boleh dikatakan bahwa akibat
dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang
dilakukan tersebut.
o
Teori mengetahui (voorstellingstheorie).
Kesengajaan
ialah: kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan
menurut undang-undang.
Maka dapat dikatakan, seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja apabila ia mengetahui bahwa dengan dilakukannya suatu perbuatan akan timbul atau mengakibatkan suatu akibat tertentu dan ia menghendaki akibat tersebut.
Terkait
perbuatan Apriani Susanti:
Dapat
dikategorikan dengan sengaja, apabila ketika melakukan perbuatannya tersebut,
tersangka dengan akal sehatnya atau dengan kesadarannya MENGETAHUI bahwa dengan
dengan mengendarai Xenia dalam kondisinya saat itu, maka dapat mengakibatkan
tertabraknya 12 penjalan kaki dan Apriani MENGHENDAKI tertabraknya 12 pejalan
kaki tersebut.
Terkait
dengan unsur Dengan sengaja, terdapat teori Kesengajaan yang ddibagi atas:
a.Kesengajaan
sebagai suatu tujuan (opzet als oogmerk)
Kesengajaan
sebagai maksud atau tujuan berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat
tertentu adalah benar-benar sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan
pengetahuan si pelaku.
Terkait
dengan kasus Apriani Susanti, apabila dikategorikan unsur dengan sengajanya
sebagai kesengajaan sebagai Tujuan atau maksud terhadap Pasal 338 KUHP, maka
Matinya 9 orang pejalan kaki di tugu tani adalah merupakan perwujudan dari
maksud dan tujuan dari Apriani Susanti. Akan tetapi jika berpandangan terhadap
teori hukum dan sikap objektif, maka teori kesengajaan ini tidak dapat menjadi
dasar pemenuhan unsur dengan sengaja pada Pasal 338 KUHP terhadap kasus
kecelakaan tugu tani.
b.Kesengajaan sebagai suatu keinsafan kepastian (ipzet bij zekerheidsbewustzijn).
Sipelaku
menyadari/menginsyafi bahwa perbuatannya itu pasti akan menimbulkan akibat lain
selain akibat utama yang menjadi tujuannya, tetapi demi tercapainya akibat
utama, maka akibat lain tersebut tidaklah menjadi penghalang bahkan diambilnya
sebagai resiko untuk mencapai tujuan utama.
Terkait
peristiwa tugu tani, penulis blog berpendapat teori kesengajaan sebagai
kepastian ini pun tidak dapat dijadikan sebagai pemenuhan unsur dengan sengaja
terhadap Pasal 338 KUHP, karena sejak awal, pelaku memang tidak menghendaki
kematian dari siapapun dari kesembilan korban kecelakaan tersebut.
c.Kesengajaan
sebagai suatu keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn).
Terjadi
bila sipelaku sengaja melakukan sesuatu dan atau untuk menimbulkan suatu akibat
tetapi ia menginsyafi bila perbuatan itu ia teruskan mungkin akan menimbulkan
akibat lain tetapi timbulnya akibat lain tersebut tidaklah menjadi penghalang
bahkan diambilnya sebagai resiko untuk mencapai tujuan utama.
Terkait
kasus kecelakaan di tugu tani, mungkin apabila sangat teramat dipaksakan
pemenuhan unsur dengan sengaja terhadap Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, maka
teori kesengajaan sebagai kemungkinan inilah yang paling dapat digunakan. namun
perlu digarisbawahi bahwa teori ini berdekatan dengan teori Culpa /dengan
lalainya. Oleh karena itu penulis berpendapat, ketentuan hukum memberikan
perbedaan antara perbuatan dengan sengaja, dengan perbuatan karena lalainya
meskipun akibat yang ditimbulkan adalah sama, misalnya akibatnya hilangnya
nyawa seseorang. Tujuan dari pembedaan itu adalah demi tercapainya keadilan.
Kelalaian tidak akan menghapus pidana, tetapi dapat meringankan pidana.
tidaklah mungkin penghukuman dilakukan sama terhadap orang yang memang niatnya
membunuh dengan orang yang tidak berniat membunuh. orang yang berniat membunuh
(dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain) memiliki kendali atas
perbuatannya, dia dapat mundur kapan saja apabila ia menghendakinya, namun
orang yang tidak sengaja, tidak memiliki kendali atas hal tersebut.
ad.3 menghilangkan jiwa orang lain/merampas nyawa orang lain
ad.3 menghilangkan jiwa orang lain/merampas nyawa orang lain
Dalam
tragedi Tugu Tani, terdapat 9 (sembilan) nyawa yang melayang akibat ditabrak
oleh mobil xenia yang dikendarai oleh Afriani. Namun walau demikian rasanya
kurang tepat jika digunakan terhadap Afriani, karena telah ada undang-undang yang
mengatur khusus tentang kecelakaan lalu lintas yaitu UU R.I Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
1. Kecelakaan lalu lintas.
di
dalam KUHP terdapat Pasal yang mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang yang terdapat dalam Pasal 359 KUHP. terhadap
kecelakaan lalu lintas, umum nya pasal ini yang dipergunakan. Namun sejak
diundangkannya UURI No.22 Tahun 2009 Tentang LLAJ, maka dianut prinsip lex
specialist derogate lege generalis yang artinya ketentuan khusus
mengesampingkan ketentuan umum, sehingga UURI No.22 Tahun 2009 lah yang paling
tepat dipergunakan.
Pasal
310 UURI No.22 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Setiap orang
yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana
paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,-
Namun
sebagaimana ancaman pidana pada Pasal 310 ini tertinggi adalah 6 tahun,
masyarakat beranggapan tidak adil jika dipandang dari jatuhnya korban sebanyak
9 jiwa.
Penulis
sendiri berpendapat, ada Pasal lain dalam UURI No.22 Tahun 2009 yang dapat
dikenai pada Apriani Susanti, yaitu Pasal 311 ayat (5) UURI No.22 Tahun 2009
yang menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan
Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau
barang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dipidana dengan pidana penjara
paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah)
Pasal
ini dirasa tepat karena, Apriani Susanti tidak berniat membunuh siapapun,
tetapi Apriani Susanti mengetahui dan menghendaki mengemudikan kendaraan
bermotor dengan cara (kecepatannya mencapai 60/70 km/jam) atau keadaan
(dipengaruhi minuman keras, narkotika) yang membahayakan bagi nyawa orang lain.
Penulis berpendapat bahwa Pasal 311 ayat (5) ini adalah jawaban atas rasa
keadilan yang diharapkan terhadap prilaku pengemudi yang mengemudikan
kendaraannya sewenang-wenang.. dengan pembelajaran kasus kecelakaan metromini
tahun 1994 silam, dan kini kasus Tragedi Tugu tani.
2.
Penggunaan Narkotika.
Pasal
112 ayat (1) Subsider Pasal 127 ayat (1) UURI No.35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Pasal
112 ayat (1) berbunyi Setiap orang yang tanpa hak
atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
Terkait
pelaku Apriani Susanti, apapbila dikenai Pasal 112 ayat (1) tersebut, harus
dapat dibuktikan bahwa pada saat itu Ia nya memiliki atau menyimpan, atau
terdapat dalam kuasanya, atau menyediakan Narkotika Golongan I. Namun sejauh
ini, berdasarkan pemberitaan media, pemberi Narkotika Gol. 1 kepada Aprini dan
teman-temannya dinyatakan DPO,
sehingga dapat dikatakan ada kemungkinan besar Apriani Susanti, bukan pemilik, atau bukan penyimpan, atau bukan penguasa, atau bukan penyedia Narkotika tersebut, tapi sebatas pemakai sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Penyalah Gunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
sehingga dapat dikatakan ada kemungkinan besar Apriani Susanti, bukan pemilik, atau bukan penyimpan, atau bukan penguasa, atau bukan penyedia Narkotika tersebut, tapi sebatas pemakai sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: Setiap Penyalah Gunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
STELSEL PEMIDANAAN
Pasal
10 KUHP memperinci hukuman pokok antara lain: Hukuman mati,
hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Terhadap hukuman penjara
terdapat 2 jenis yaitu Penjara seumur hidup dan penjara sementara. Terhadap
pidana penjara sementara paling singkat 1 hari dan paling lama 15 tahun, akan
tetapi terhadap pemberatan pidana (misalnya residiv, Pasal dikualifisier/Pasal
pemberatan 340 KUHP terhadap 338 KUHP (perbedaan terdapat pada unsur
"dengan rencana") dapat mencapai maksimal 20 tahun. dengan perkataan
lain, di Indonesia terhadap hukuman penjara sementara TIDAK AKAN LEBIH DARI
20 TAHUN.
Terhadap Tindak Pidana perbarengan (tindak pidana lebih dari satu) dikenal 4 Stelsel pemidanaan, diantaranya:
1. Kumulasi
murni atau penjumlahan murni.
Jika
menganut stelsel ini, maka terhadap ketentuan pidana dari seluruh tindak pidana
yang dilakukan, dijumlahkan.
Terhadap
kasus Apriani Susanti, Penulis berpendapat Pasal yang dapat dikenai terhadap
Apriani adalah 311 ayat (5) UURI No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dengan pidana maksimal 12 tahun dan Pasal 127 ayat (1) UURI
No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan pidana maksimal 4 tahun penjara, maka
berdasarkan stelsel pemidanaan ini, Apriani Susanti dapat dipidana dengan
pidana penjara selama 16 tahun penjara.
Stelsel
Kumulasi Murni ini tidak diberlakukan di Indonesia.
2. Absorbi
Murni atau Penyerapan Murni
dalam
stelsel pemidanaan ini, pidana tertinggi menyerap pidana lainnya sehingga
pidana yang dikenai terhadap pelaku adalah sebatas pidana tertinggi saja,
dengan demikian terhadap Apriani Susanti hanya dipidana selama 12 tahun saja
dengan anggapan pidana 4 tahun telah diserap oleh pidana yang tertinggi yaitu
12 tahun. Namun stelsel pemidanaan seperti ini dinilai tidak menjunjung rasa
keadilan karena tindak pidana selain tindak pidana dengan ketentuan pidana
tertinggi tidak diperhitungkan.
Indonesia tidak menganut stelsel pemidanaan absorbi murni.
Indonesia tidak menganut stelsel pemidanaan absorbi murni.
3. Kumulasi
terbatas.
Dalam
stelsel pemidanaan ini, penjumlahan pidana dapat dilakukan dengan batasan
(kumulasi terbatas) bahwa hasil penjumlahan pidana tersebut tidak melebihi
pidana tertinggi ditambah sepertiga dari pidana tertinggi tersebut dan tidak
melebihi ketentuan pidana penjara sementara tertinggi adalah 20 tahun penjara.
terhadap kasus Apriani Susanti, pemidanaannya dapat dijumlahkan menjadi 12 + 4 = 16 tahun penjara, namun tidak sampai disitu saja, kita harus mengecek batas kumulatifnya yaitu tidak melebihi pidana maksimal + sepertiga pidana maksimal. yaitu 12 + 4 (sepertiga dari 12) = 16 tahun. Ternyata kumulasi (penjumlahan) terhadap 2 ancaman pidana yang dikenai terhadap Apriani Susanti tidak melewati ambang batas, sehingga dapat dipergunakan, yaitu pidana penjara selama 16 tahun.
Pemisalan yang lain, terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dengan pidana 20 tahun penjara, dilakukan pula pencurian dengan pidana selama 5 tahun, maka pemidanaannya seharusnya 20 tahun + 6,6 tahun, sehingga selama 26 tahun 6 bulan. Namun meskipun telah tunduk pada pembatasan pidana maksimal ditambah sepertiga pidana maksimal, tapi masih ada pembatasan berikutnya yaitu, pidana penjara sementara tidak melebihi 20 tahun, dan 26 tahun 6 bulan tersebut telah melampau ambang batas 20 tahun, maka yang dikenakan adalah 20 tahun penjara. Hal ini tidak berarti terhadap ketentuan pidana pencurian tidak diperhitungkan sebagaimana stelsel absorbi murni, hanya saja ada ketentuan pidana penjara sementara untuk pemberatan adalah 20 tahun.
terhadap kasus Apriani Susanti, pemidanaannya dapat dijumlahkan menjadi 12 + 4 = 16 tahun penjara, namun tidak sampai disitu saja, kita harus mengecek batas kumulatifnya yaitu tidak melebihi pidana maksimal + sepertiga pidana maksimal. yaitu 12 + 4 (sepertiga dari 12) = 16 tahun. Ternyata kumulasi (penjumlahan) terhadap 2 ancaman pidana yang dikenai terhadap Apriani Susanti tidak melewati ambang batas, sehingga dapat dipergunakan, yaitu pidana penjara selama 16 tahun.
Pemisalan yang lain, terhadap tindak pidana pembunuhan berencana dengan pidana 20 tahun penjara, dilakukan pula pencurian dengan pidana selama 5 tahun, maka pemidanaannya seharusnya 20 tahun + 6,6 tahun, sehingga selama 26 tahun 6 bulan. Namun meskipun telah tunduk pada pembatasan pidana maksimal ditambah sepertiga pidana maksimal, tapi masih ada pembatasan berikutnya yaitu, pidana penjara sementara tidak melebihi 20 tahun, dan 26 tahun 6 bulan tersebut telah melampau ambang batas 20 tahun, maka yang dikenakan adalah 20 tahun penjara. Hal ini tidak berarti terhadap ketentuan pidana pencurian tidak diperhitungkan sebagaimana stelsel absorbi murni, hanya saja ada ketentuan pidana penjara sementara untuk pemberatan adalah 20 tahun.
Indonesia
menganut stelsel pemidanaan Kumulatif terbatas ini.
4. Absorbsi
dipertajam.
Stelsel pemidanaan ini hampir sama dengan kumulasi terbatas, hanya saja sistem nya berbeda meskipun hasil akhirnya sama. yaitu pidana tertinggi menyerap pidana lainnya kemudian terhadap pidana tertinggi tersebut ditambahkan sepertiga dari pidana tertinggi dimaksud.
6.
KESIMPULAN
Ø Pasal
Yang Dikenakan
terhadap Peristiwa kecelakaan maut di
Tugu Tani yang menelan korban 9 orang meninggal dunia dengan pelaku adalah
Apriani Susanti, penulis berpendapat pelaku dapat dijerat dengan Pasal 311 ayat
(5) UURI No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan pidana
maksimal selama 12 tahun penjara DAN Pasal 127 ayat (1) UURI No.35 Tahun 2009
Tentang Narkotika dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.
Ø Penjatuhan
Pidana
Berdasarkan
stelsel pemidaan perbarengan dengan stelsel kumulatif terbatas, maka sesuai
ketentuan pidana yang dikenakan kepada tersangka Apriani Susanti, dapat
dijatuhi pidana maksimal 12 tahun + 4 tahun (sepertiga dari 12 tahun) = 16
Tahun penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar