Selasa, 15 Januari 2013

Perlindungan Terhadap Hasil Karya Cipta Yang Tidak Diketahui Penciptanya


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Karya merupakan suatu hasil dari buah pikir manusia. Seorang manusia tentu menginginkan karyanya mendapat penghargaan dari orang lain. Karena seseorang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan suatu hasil karya kreatif yang akan memperkaya kehidupan manusia.[1] Jika para pencipta karya-karya tersebut tidak diakui sebagai pencipta atau tidak diberi penghargaan, karya-karya tersebut mungkin tidak akan pernah diciptakan sama sekali.
Kebutuhan untuk mengakui, melindungi dan memberi penghargaan terhadap pengarang, artis, pencipta perangkat lunak dan ciptaan lain serta akses atas hasil karya mereka demi kepentingan manusia mulai dirasakan di Indonesia.
Dalam hubungan kepemilikan terhadap Hak Cipta, Hukum bertindak dan menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara ekslusif hasil karyanya itu dan jika perlu dengan bantuan Negara untuk penegakan hukumnya. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan Hukum adalah merupakan kepentingan pemilik Hak Cipta baik secara individu maupun kelompok sebagai subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu, Hukum memberi jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan ini tercermin dalam sistem HKI yang berkembang dengan menyeimbangkan antara dua kepentingan yaitu pemilik Hak Cipta dan kebutuhan masyarakat umum.
Timbul pertanyaan dalam benak kami bagaimana dengan suatu karya cipta yang tidak diketahui siapa penciptanya? Dalam hal kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia ini sangat banyak karya yang tidak diketahui siapa penciptanya, baik karya itu berupa lagu, tarian, alat musik atau bentuk seni rupa lainnya. Sejauh mana HKI dapat melindungi Hak Cipta terhadap karya yang demikian?.





1.2  Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan dua pokok permasalahan, diantaranya:
1.      Bagaimana perlidungan terhadap hasil karya cipta yang tidak diketahui penciptanya  ?
2.      Bagaimana sikap negara terkait komersialisasi kebudayaan daerah ?

1.3  Tujuan Penulisan
Setelah memberikan berbagai masalah yang hendak dibahas dalam penulisan makalah ini, maka pada tahap selanjutnya akan diberikan tujuan apa yang hendak diperoleh melalui pembahasan masalah tersebut secara lebuh terperinci dan mendalam.
Adapun berbagai hal yang menjadi tujuan dari proses penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui perlidungan terhadap hasil karya cipta yang tidak diketahui penciptanya.
2.      Untuk mengetahui sikap negara terkait komersialisasi kebudayaan daerah.

1.4  Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan pendekatan yuridis normatif, sedangkan sumber data yang penulis gunakan berupa bahan hukum primer dan sekunder yang kemudian penulis analisis dengan menggunakan metode Statute Approach yaitu menggunakan telaah dan analisa berdasarkan perundang-undangan serta bahan hukum lain yang berkaitan dengan objek penelitian.








BAB II
LANDASAN TEORI

2.1  Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat ‘HKI’ atau akronim ‘HaKI’ adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Secara garis besar HKI dibagi dalam dua bagian, yaitu:
1.      Hak Cipta (copy rights)
2.      Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup:
·         Paten;
·         Desain Industri (Industrial designs);
·         Merek;
·         Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
·         Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit);
·         Rahasia dagang (trade secret);
Jadi HKI pada pada umumnya berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai komersial. HKI adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya.[2]
Ada empat prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat[3], sebagai berikut :
1.      Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)
2.      Prinsip Ekonomi (the economic argument)
3.      Prinsip Kebudayaan (the cultural argument)
4.      Prinsip Social (the social argument)

Di Indonesia badan yang berwenang dalam mengurusi HKI adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut Ditjen HKI mempunyai tugas menyelenggarakan tugas kementerian di bidang HKI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan Menteri.
      Ditjen HKI mempunyai fungsi :
a.       Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan teknis di bidang HKI;
b.      Pembinaan yang meliputi pemberian bimbingan, pelayanan, dan penyiapan standar di bidang HKI;
c.       Pelayanan teknis dan administratif kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal HKI.

Di dalam organisasi Direktorat Jenderal HKI terdapat susunan sebagai berikut :
a.       Sekretariat Direktorat Jenderal;
b.      Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, tata letak Sirkuit terpadu, dan Rahasia Dagang;
c.       Direktorat Paten;
d.      Direktorat Merek;
e.       Direktorat Kerjasama dan Pengembangan Hak Kekayaan Intelektual;
f.       Direktorat Teknologi Informasi;

Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan  WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di bidang HKI, yaitu :
a.       Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b.      Patent Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan Keppres NO. 16 Tahun 1997;
c.       Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d.      Bern Convention for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan Keppres No. 18 tahun  1997;
e.       WIPO copyrights treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997;

Di dalam dunia internasional terdapat suatu badan yang khusus mengurusi masalah HKI yaitu suatu badan dari PBB yang disebut WIPO (WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATIONS). Indonesia merupakan salah satu anggota dari badan tersebut dan telah diratifikasikan dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention establishing the world Intellectual Property Organization, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Memasuki millenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional. Dimasukkannya TRIPs dalam paket persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HKI diseluruh dunia. Dengan demikian saat ini permasalahan HKI tidak dapat dilepaskan dari perdagangan dan investasi. Pentingnya HKI dalam pembangunan ekonomi dalam perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan.

2.2  Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]
Karena ciptaan-ciptaan ini dilindungi Hak Cipta sebagai hak ekslusif, ciptaan-ciptaa ini menjadi hak yang semata-mata menjadi hak yang diperuntukan bagi pencipta atau pihak lain yang diperbolehkan memanfaatkan hak tersebut dengan seizing pencipta. Kegiatan mengumumkan atau memperbanyak diartikan sebagai kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, mengimpor atau mengekspor, memamerkan, mempertunjukan kepada public, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan ciptaan kepada public melalui sarana apapun.[5]

            Subjek Hak Cipta
1.      Pencipta
      seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.[6]
2.      Pemegang Hak Cipta
Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.[7]

Objek Hak Cipta
Ciptaan
      Yaitu hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.[8]
Undang-undang yang mengatur Hak Cipta:
1.      UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2.      UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
3.      UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
4.      UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)

BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Perlindungan Terhadap Hasil Karya Cipta Yang Tidak Diketahui Penciptanya
Dari sekian banyak kebudayaan yang ada di Indonesia banyak pula hasil karya yang tidak diketahui siapa penciptanya. Salah satu contohnya adalah angklung yang berasal dari tatar pasundan (Jawa Barat). Alat musik yang terbuat dari pilah-pilah bambu yang dirangkai jadi satu, angklung dimainkan dengan cara mengoyang-goyangkan, hingga menghasilkan suara unik akibat benturan badan pipa-pipa bambu tadi. Getar nada yang terdengar selalu bersusun 2, 3, 4 (re-mi-fa) untuk setiap ukuran, besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi, agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Masyarakat Priangan sendiri mengenal angklung sejak masa Kerajaan Sunda[9].
Sampai saat ini angklung tidak diketahui siapa penciptanya. Bahkan Negara tetangga kita sempat mengklaim angklung sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Sebenarnya dalam hal ini peran serta pemerintah sangatlah besar, karena berdasarkan pasal 10 UU No 19 Tahun 2002 menyebutkan bahwa Negara merupakan pemegang Hak Cipta atas :
1)      Karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya;
2)      Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
3)      Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, tentang Negara sebagai pemegang Hak Cipta ciptaan-ciptaan yang diatur dalam pasal 10 ini, UUHC No 19 Tahun 2002 telah mengemukakan bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lainnya, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi sreta tindakan yang merusak atau memanfaatkan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut[10].
Folklore dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukan identitas sosial dan budayannya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk :
a.       Cerita rakyat, puisi rakyat;
b.      Lagu-lagu rakyat dan musik instrument tradisional;
c.       Tarian-tarian rakyat, permainan tradisional;
d.      Hasil seni antara lain berupa : lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrument musik dan tenun tradisional.
Negara juga pemegang Hak Cipta untuk kepentingan pencipta atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan.[11] Seperti yang telah dijelakan dalam pasal 11 UUHC No 19 Tahun 2002, bahwa :
  1. Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
  2. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
  3. Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.

3.2  Sikap Negara Terkait Komersialisasi Kebudayaan Daerah
Komersialisai terhadap kebudayaan daerah sangat dimungkinkan untuk dilakukan oleh siapapun, baik oleh orang Indonesia sendiri ataupun oleh oleh orang asing. Ketika hadir di sebuah acara pementasan musik angklung di Saung Angklung Mang Udjo di Bandung, saya membatin, betapa Indonesia kaya akan kreatifitas tradisional. Ternyata bambu bisa disulap menjadi alat musik yang mengagumkan. Dan kita tidak usah jauh-jauh mencari ke mana tempatnya. Sambil sesekali saling dorong, anak-anak itu berdiri manis berderet dengan pakaian tradisional Sunda. Masing-masing memegang angklung. Di belakang mereka berdiri beberapa anak laki-laki dengan seperangkat alat musik, mulai dari arumba, angklung ricik hingga kontra-bas, dan kendang yang dimainkan serupa drum. Mereka membuat sebuah ensemble.
Ketika komersialisasi kebudayaan daerah ini dilakukan oleh anak bangsa mungkin tidaklah dianggap sebagai suatu masalah selama anak bangsa tersebut tidak mengklaim sebagai penciptanya, dan mungkin hal ini dianggap sebagai salah satu bentuk pengenalan budaya Indonesia kepada dunia, selain itu juga sebagai penarik wisatawan mancanegara yang “notabene” sebagai salah satu dari penghasil devisa bagi Negara ini. Namun apakah akan dianggap biasa bila orang asing atau bahkan Negara lain yang melakukan komersialisai tersebut.?
Kita ambil contoh salah satu isu yang dulu pasti sering kita dengar, yaitu klaim Malaysia terhadap berbagai kebudayaan Indonesia, salah stunya yaitu angklung. Dalam iklan pariwisatanya mereka menyebutkan bahwa angklung adalah bagian dari kebudayaan Malaysia. sejak 1966, Udjo Ngalagena (seniman yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda) mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas. Melalui padepokan seni Saung Angklung Udjo yang ia didirikan sejak 40 tahun silam, siapa pun leluasa belajar, tidak terkecuali warga asing.
Di antara para peminat itu, yang paling ”ambisius”, adalah Malaysia. Selain mengimpor, Malaysia banyak mengirim warganya untuk belajar angklung. Dari sinilah ”stori” klaim Malaysia itu, konon, berasal. Tak puas sekadar belajar, Pemerintah Negeri Jiran, pada Oktober 2007, menebar pengumuman jika angklung adalah milik mereka.[12]
Berikut data yang kami peroleh perihal alat musik angklung oleh pemerintah malaysia[13] :
Nama Artefak       : Alat Musik Angklung 
Asal Daerah          : Jawa Barat 
Kategori                 : Alat Musik 
Tahun Klaim         : 2006 
Exploitor                : Pemerintahan Malaysia 
Modus                    : Menumpang belajar di Indonesia lalu memperjuangkan    HKI di mata internasional
Keterangan           : Membudidayakan bambu untuk angklung, belajar mengolah teknologi untuk pembuatan angklung dan memperjuangkan HKI di mata internasional
Sumber                  : Republika, 14 Desember 2006, dengan judul artikel ANGKLUNG INDONESIA DI TANGAN MALAYSIA
Kontributor           : Sulanjana 

Mendengar kabar tersebut, pemerintah Indonesia langsung bertindak untuk mengklarifikasi kasus tersebut. Pemerintah mengirim utusan diplomatik ke Malaysia, dan juga ke UNESCO untuk menjelaskan bahwa angklung adalah budaya Indonesia. Setelah sebelumnya, angklung alat musik bambu asli Indonesia diramaikan diklaim oleh Malaysia sebagai alat musik asli negara mereka, maka Alat musik tradisional Angklung dikukuhkan sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia atau “World Intangible Heritage” oleh UNESCO pada bulan November 2010. Selain adanya pengamanan dan pengakuan angklung sebagai warisan budaya dunia, juga akan berdampak secara ekonomis. Para perajin angklung akan diuntungkan dengan mendapatkan banyak pesanan angklung dari dalam dan luar negeri.[14]





Berikut adalah foto yang menjadi bahan objek penelitian yang dilakukan oleh saya.

















BAB IV
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Berdasarkan pasal 10 UU No 19 Tahun 2002 menyebutkan bahwa Negara merupakan pemegang Hak Cipta atas karya yang tidak diketahui penciptanya. Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. Negara juga pemegang Hak Cipta untuk kepentingan pencipta atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan.
Komersialisasi yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia diperbolehkan, kecuali untuk warga Negara asing maka harus atas seizin Negara, dalam hal ini sebagai pihak yang berwenang.

1.2  Rekomendasi
Dalam hal perlindungan terhadap karya cipta anak bangsa yang tidak diketahui siapa penciptanya Negara harus bisa lebih pro aktif, jangan sampai kasus klaim kebudayaan kita oleh Negara asing terulang kembali. Kasus angklung ini harus dijadikan sebagai pelajaran yang berharga. Meskipun kemudian dapat diatasi tetapi alangkah lebih baiknya hal seperti ini dapat dicegah.
Selain melakukan perlindungan terhadap kebudayaan daerah, pemerintah juga seharusnya lebih memelihara dan mengembangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia agar lebih berkembang dan lebih dikenal oleh masyarakat dunia, supaya tidak ada lagi Negara yang berani mengklaim budaya Indonesia.








DAFTAR PUSTAKA






















LAMPIRAN
Saung Angklung Udjo berlokasi di jalan padasuka 118 Bandung. Ini merupakan sanggar seni, laboratorium pendidikan, sekaligus objek wisata budaya khas Jawa Barat. Sebuah lokasu wisata yang pantas dan tepat dimana tarian tradisional dan permainan angklung membaur dalam suasana riang gembira.
Saung Angklung Udjo diibaratkan oase kebudayaan ditengah perkampungan padat. Saung berdiri diatas tanah seluas 1,2 hektare. Tercatat sudah 42 negara mengenal permainan angklung. Bahkan Korea Selatan mengenalkan angklung kepada generasi muda sejak duduk di bangku sekolah dasar. Di Saung Angklung Udjo, kesenian angklung dikemas dengan sangat menarik oleh pendirinya, Udjo Ngalagena (alm). Yang akrab dipanggil mang Udjo dan istrinya, Uum Sumiati. Mang Udjo dikenal sebagai pembuat angklung sejak 1966.
Angklung adalah instrumen music tradisional yang terbuat dari bamboo yang cara memainkannya dengan digoyang dan menghasilkan hanya satu nada untuk seyiap instrumennya. Angklung merupakan pengembangan dari instrument calung. Yaitu tabung bambu yang dipukul.
Pada awalnya angklung hanya bernada pentatonic (da, mi, na, ti, la). Dibutuhkan puluhan orang untuk memainkan angklung agar terdengar harmonis. Kini dengan tekhnik tertentu bisa dimainkan oleh bebarapa orang saja. Pada 1938, Daeng Soetigna memodifikasi suara angklung menjadi diatonic (do, re, mi, fa, sol, la, si). Sejak saat itu angklung mulai dikenal secara internasional hingga pernah ditampilkan dalam acara konfrensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.
Angklung kini lebih sering ditampilkan dalam bentuk orchestra dan semakin banyak dibina di berbagai sekolah. Saung Angklung Udjo merupakan sepenggal kisah bagaimana kekayaan budaya local masih bertahan dan berakulturasi dengan desakan arus globalisasi.


[1] Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006. Hlm 89
[2] Ibid, hlm 3.
[3] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cetakan Pertama, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 124
[4] Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[5] Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006. Hlm 7
[6] Pasal 1 (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[7] Pasal 1 (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[8] Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[10] Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006. Hlm 112.
[11] Ibid,

2 komentar:

  1. mantep makalah nya , kunjungi juga blog saya ada berbagai macam makalah hukum di blog saya link : http://iusyusephukum.blogspot.com/

    BalasHapus