BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya merupakan suatu hasil dari buah pikir manusia.
Seorang manusia tentu menginginkan karyanya mendapat penghargaan dari orang
lain. Karena seseorang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk
menghasilkan suatu hasil karya kreatif yang akan memperkaya kehidupan manusia.[1]
Jika para pencipta karya-karya tersebut tidak diakui sebagai pencipta atau
tidak diberi penghargaan, karya-karya tersebut mungkin tidak akan pernah
diciptakan sama sekali.
Kebutuhan untuk mengakui, melindungi dan memberi
penghargaan terhadap pengarang, artis, pencipta perangkat lunak dan ciptaan
lain serta akses atas hasil karya mereka demi kepentingan manusia mulai
dirasakan di Indonesia.
Dalam hubungan kepemilikan terhadap Hak Cipta, Hukum
bertindak dan menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara ekslusif
hasil karyanya itu dan jika perlu dengan bantuan Negara untuk penegakan
hukumnya. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan Hukum adalah merupakan
kepentingan pemilik Hak Cipta baik secara individu maupun kelompok sebagai
subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu, Hukum memberi
jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan ini tercermin
dalam sistem HKI yang berkembang dengan menyeimbangkan antara dua kepentingan
yaitu pemilik Hak Cipta dan kebutuhan masyarakat umum.
Timbul pertanyaan dalam benak kami bagaimana dengan
suatu karya cipta yang tidak diketahui siapa penciptanya? Dalam hal
kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia ini sangat banyak karya yang tidak
diketahui siapa penciptanya, baik karya itu berupa lagu, tarian, alat musik
atau bentuk seni rupa lainnya. Sejauh mana HKI dapat melindungi Hak Cipta
terhadap karya yang demikian?.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan dua pokok permasalahan, diantaranya:
1. Bagaimana perlidungan terhadap hasil karya
cipta yang tidak diketahui penciptanya ?
2. Bagaimana sikap negara terkait komersialisasi
kebudayaan daerah ?
1.3
Tujuan Penulisan
Setelah
memberikan berbagai masalah yang hendak dibahas dalam penulisan makalah ini,
maka pada tahap selanjutnya akan diberikan tujuan apa yang hendak diperoleh
melalui pembahasan masalah tersebut secara lebuh terperinci dan mendalam.
Adapun
berbagai hal yang menjadi tujuan dari proses penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui perlidungan terhadap hasil karya cipta yang tidak diketahui
penciptanya.
2.
Untuk
mengetahui sikap negara terkait komersialisasi kebudayaan daerah.
1.4
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan pendekatan yuridis
normatif, sedangkan sumber data yang penulis gunakan berupa bahan hukum primer
dan sekunder yang kemudian penulis analisis dengan menggunakan metode Statute
Approach yaitu menggunakan telaah dan analisa berdasarkan perundang-undangan serta
bahan hukum lain yang berkaitan dengan objek penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual yang disingkat ‘HKI’ atau
akronim ‘HaKI’ adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR),
yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk
atau proses yang berguna untuk manusia.
Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara
ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI
adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Secara garis besar HKI dibagi dalam dua bagian, yaitu:
1.
Hak Cipta (copy
rights)
2.
Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup:
·
Paten;
·
Desain Industri (Industrial designs);
·
Merek;
·
Penanggulangan praktik persaingan curang (repression of unfair competition);
·
Desain tata letak sirkuit terpadu (integrated circuit);
·
Rahasia dagang (trade secret);
Jadi HKI pada pada umumnya berhubungan dengan
perlindungan penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai komersial. HKI
adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan
bentuk-bentuk kekayaan lainnya.[2]
Ada empat prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan
kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat[3],
sebagai berikut :
1.
Prinsip Keadilan (the
principle of natural justice)
2.
Prinsip Ekonomi (the
economic argument)
3.
Prinsip Kebudayaan (the
cultural argument)
4.
Prinsip Social (the
social argument)
Di Indonesia badan yang berwenang dalam mengurusi HKI
adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, kementerian Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia RI.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang
selanjutnya disebut Ditjen HKI mempunyai tugas menyelenggarakan tugas kementerian
di bidang HKI berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
kebijakan Menteri.
Ditjen HKI mempunyai fungsi :
a. Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
kebijakan teknis di bidang HKI;
b. Pembinaan yang meliputi pemberian
bimbingan, pelayanan, dan penyiapan standar di bidang HKI;
c. Pelayanan teknis dan administratif kepada
semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal HKI.
Di dalam organisasi Direktorat
Jenderal HKI terdapat susunan sebagai berikut :
a.
Sekretariat Direktorat Jenderal;
b.
Direktorat Hak Cipta, Desain Industri, tata letak
Sirkuit terpadu, dan Rahasia Dagang;
c.
Direktorat Paten;
d.
Direktorat Merek;
e. Direktorat Kerjasama dan Pengembangan Hak
Kekayaan Intelektual;
f.
Direktorat Teknologi Informasi;
Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan
meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement
Astablishing the World Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia). Salah satu bagian terpenting darti persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs,
pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional di
bidang HKI, yaitu :
a.
Paris Convention
for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World
Intellectual Property Organization, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997
tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979;
b.
Patent
Coorperation Treaty (PCT) and Regulation under the PTC, dengan Keppres NO.
16 Tahun 1997;
c.
Trademark Law
Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
d.
Bern Convention
for the Protection of Literaty and Artistic Works dengan Keppres No. 18
tahun 1997;
e.
WIPO copyrights
treadty (WCT) dengan Keppres No. 19 tahun 1997;
Di dalam dunia internasional terdapat suatu badan yang
khusus mengurusi masalah HKI yaitu suatu badan dari PBB yang disebut WIPO (WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATIONS).
Indonesia merupakan salah satu anggota dari badan tersebut dan telah
diratifikasikan dalam Paris Convention
for the Protection of Industrial Property and Convention establishing the world
Intellectual Property Organization, sebagaimana telah dijelaskan diatas.
Memasuki
millenium baru, hak kekayaan intelektual menjadi isu yang sangat penting yang
selalu mendapat perhatian baik dalam forum nasional maupun internasional.
Dimasukkannya TRIPs dalam paket persetujuan WTO di tahun 1994 menandakan
dimulainya era baru perkembangan HKI diseluruh dunia. Dengan
demikian saat ini permasalahan HKI tidak dapat dilepaskan dari perdagangan dan
investasi. Pentingnya HKI dalam pembangunan ekonomi dalam perdagangan telah
memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berdasar ilmu pengetahuan.
2.2 Hak
Cipta
Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.[4]
Karena
ciptaan-ciptaan ini dilindungi Hak Cipta sebagai hak ekslusif, ciptaan-ciptaa
ini menjadi hak yang semata-mata menjadi hak yang diperuntukan bagi pencipta
atau pihak lain yang diperbolehkan memanfaatkan hak tersebut dengan seizing
pencipta. Kegiatan mengumumkan atau memperbanyak diartikan sebagai kegiatan
menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, mengimpor atau
mengekspor, memamerkan, mempertunjukan kepada public, menyiarkan, merekam dan
mengkomunikasikan ciptaan kepada public melalui sarana apapun.[5]
Subjek
Hak Cipta
1.
Pencipta
seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu
ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau
keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.[6]
2.
Pemegang Hak Cipta
Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak
yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.[7]
Objek Hak Cipta
Ciptaan
Yaitu hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.[8]
Undang-undang yang mengatur Hak Cipta:
1.
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2.
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
3.
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
4.
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor
6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perlindungan
Terhadap Hasil Karya Cipta Yang Tidak Diketahui Penciptanya
Dari sekian banyak kebudayaan yang ada di Indonesia banyak pula hasil karya
yang tidak diketahui siapa penciptanya. Salah satu contohnya adalah angklung
yang berasal dari tatar pasundan (Jawa Barat). Alat musik yang terbuat dari pilah-pilah bambu yang dirangkai jadi satu,
angklung dimainkan dengan cara mengoyang-goyangkan, hingga menghasilkan suara
unik akibat benturan badan pipa-pipa bambu tadi. Getar nada yang terdengar
selalu bersusun 2, 3, 4 (re-mi-fa) untuk setiap ukuran, besar maupun kecil.
Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog. Kemunculannya berawal dari ritus padi.
Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun
ke bumi, agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Masyarakat Priangan sendiri
mengenal angklung sejak masa Kerajaan Sunda[9].
Sampai saat ini angklung tidak diketahui siapa
penciptanya. Bahkan Negara tetangga kita sempat mengklaim angklung sebagai
bagian dari kebudayaan mereka. Sebenarnya dalam hal ini peran serta pemerintah
sangatlah besar, karena berdasarkan pasal 10 UU No 19 Tahun 2002 menyebutkan
bahwa Negara merupakan pemegang Hak Cipta atas :
1)
Karya
peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya;
2)
Folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita,
hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian,
kaligrafi, dan karya seni lainnya.
3)
Untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara
Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam
masalah tersebut.
4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, tentang Negara sebagai pemegang Hak Cipta
ciptaan-ciptaan yang diatur dalam pasal 10 ini, UUHC No 19 Tahun 2002 telah
mengemukakan bahwa dalam rangka melindungi folklor
dan hasil kebudayaan rakyat lainnya, pemerintah dapat mencegah adanya monopoli
atau komersialisasi sreta tindakan yang merusak atau memanfaatkan komersial
tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai pemegang Hak Cipta. Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai
kebudayaan tersebut[10].
Folklore dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik
yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukan
identitas sosial dan budayannya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang
diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk :
a.
Cerita rakyat, puisi
rakyat;
b.
Lagu-lagu rakyat dan
musik instrument tradisional;
c.
Tarian-tarian rakyat,
permainan tradisional;
d.
Hasil seni antara lain
berupa : lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan
tangan, pakaian, instrument musik dan tenun tradisional.
Negara juga pemegang Hak Cipta untuk kepentingan pencipta
atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum
diterbitkan.[11]
Seperti yang telah dijelakan dalam pasal 11 UUHC No 19 Tahun 2002, bahwa :
- Jika suatu Ciptaan tidak diketahui Penciptanya
dan Ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan
tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
- Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi
tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama
samaran Penciptanya, Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya.
- Jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi
tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, Negara memegang Hak
Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya.
3.2 Sikap
Negara Terkait Komersialisasi Kebudayaan Daerah
Komersialisai terhadap kebudayaan daerah sangat
dimungkinkan untuk dilakukan oleh siapapun, baik oleh orang Indonesia sendiri
ataupun oleh oleh orang asing. Ketika hadir di sebuah acara pementasan
musik angklung di Saung Angklung Mang Udjo di Bandung, saya membatin, betapa
Indonesia kaya akan kreatifitas tradisional. Ternyata bambu bisa disulap
menjadi alat musik yang mengagumkan. Dan kita tidak usah jauh-jauh mencari ke mana tempatnya. Sambil
sesekali saling dorong, anak-anak itu berdiri manis berderet dengan pakaian
tradisional Sunda. Masing-masing memegang angklung. Di belakang mereka berdiri
beberapa anak laki-laki dengan seperangkat alat musik, mulai dari arumba,
angklung ricik hingga kontra-bas, dan kendang yang dimainkan serupa drum. Mereka
membuat sebuah ensemble.
Ketika
komersialisasi kebudayaan daerah ini dilakukan oleh anak bangsa mungkin
tidaklah dianggap sebagai suatu masalah selama anak bangsa tersebut tidak
mengklaim sebagai penciptanya, dan mungkin hal ini dianggap sebagai salah satu
bentuk pengenalan budaya Indonesia kepada dunia, selain itu juga sebagai
penarik wisatawan mancanegara yang “notabene” sebagai salah satu dari penghasil
devisa bagi Negara ini. Namun apakah akan dianggap biasa bila orang asing atau
bahkan Negara lain yang melakukan komersialisai tersebut.?
Kita
ambil contoh salah satu isu yang dulu pasti sering kita dengar, yaitu klaim
Malaysia terhadap berbagai kebudayaan Indonesia, salah stunya yaitu angklung.
Dalam iklan pariwisatanya mereka menyebutkan bahwa angklung adalah bagian dari
kebudayaan Malaysia. sejak 1966, Udjo Ngalagena (seniman
yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda) mulai
mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai
komunitas. Melalui padepokan seni Saung Angklung Udjo yang ia didirikan sejak
40 tahun silam, siapa pun leluasa belajar, tidak terkecuali warga asing.
Di
antara para peminat itu, yang paling ”ambisius”, adalah Malaysia. Selain
mengimpor, Malaysia banyak mengirim warganya untuk belajar angklung. Dari
sinilah ”stori” klaim Malaysia itu, konon, berasal. Tak puas sekadar belajar,
Pemerintah Negeri Jiran, pada Oktober 2007, menebar pengumuman jika angklung
adalah milik mereka.[12]
Berikut
data yang kami peroleh perihal alat musik angklung oleh pemerintah malaysia[13]
:
Nama Artefak : Alat Musik Angklung
Asal Daerah : Jawa Barat
Kategori : Alat
Musik
Tahun Klaim : 2006
Exploitor : Pemerintahan
Malaysia
Modus : Menumpang
belajar di Indonesia lalu memperjuangkan HKI di mata internasional
Keterangan : Membudidayakan
bambu untuk angklung, belajar mengolah teknologi untuk pembuatan angklung dan
memperjuangkan HKI di mata internasional
Sumber : Republika,
14 Desember 2006, dengan judul artikel ANGKLUNG INDONESIA DI TANGAN MALAYSIA
Kontributor : Sulanjana
Mendengar kabar tersebut, pemerintah
Indonesia langsung bertindak untuk mengklarifikasi kasus tersebut. Pemerintah
mengirim utusan diplomatik ke Malaysia, dan juga ke UNESCO untuk menjelaskan
bahwa angklung adalah budaya Indonesia. Setelah
sebelumnya, angklung alat musik bambu asli Indonesia diramaikan diklaim oleh
Malaysia sebagai alat musik asli negara mereka, maka Alat musik tradisional
Angklung dikukuhkan sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia atau
“World Intangible Heritage” oleh
UNESCO pada bulan November 2010. Selain adanya pengamanan dan
pengakuan angklung sebagai warisan budaya dunia, juga akan berdampak secara
ekonomis. Para perajin angklung akan diuntungkan dengan mendapatkan banyak
pesanan angklung dari dalam dan luar negeri.[14]
Berikut adalah foto yang menjadi bahan objek penelitian
yang dilakukan oleh saya.

BAB IV
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Berdasarkan pasal 10 UU No 19 Tahun 2002
menyebutkan bahwa Negara merupakan pemegang Hak Cipta atas karya yang tidak
diketahui penciptanya. Folklore dan
hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi,
dan karya seni lainnya. orang yang bukan warga
negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait
dalam masalah tersebut. Negara juga pemegang Hak Cipta untuk kepentingan pencipta
atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum
diterbitkan.
Komersialisasi yang dilakukan oleh warga Negara
Indonesia diperbolehkan, kecuali untuk warga Negara asing maka harus atas
seizin Negara, dalam hal ini sebagai pihak yang berwenang.
1.2 Rekomendasi
Dalam hal perlindungan terhadap karya cipta
anak bangsa yang tidak diketahui siapa penciptanya Negara harus bisa lebih pro
aktif, jangan sampai kasus klaim kebudayaan kita oleh Negara asing terulang
kembali. Kasus angklung ini harus dijadikan sebagai pelajaran yang berharga.
Meskipun kemudian dapat diatasi tetapi alangkah lebih baiknya hal seperti ini
dapat dicegah.
Selain melakukan perlindungan terhadap
kebudayaan daerah, pemerintah juga seharusnya lebih memelihara dan
mengembangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia agar lebih berkembang
dan lebih dikenal oleh masyarakat dunia, supaya tidak ada lagi Negara yang
berani mengklaim budaya Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006.
- Massudilawe & partner, Himounan UU HKI, Jakarta, Andi offset, 2008.
- Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cetakan Pertama, Bina Cipta, Bandung, 1982.
- http://www.tnol.co.id/id/onthespot/439-klaim-malaysia-angklung-pun-ikut-digulung.html
LAMPIRAN
Saung Angklung Udjo berlokasi di jalan padasuka 118
Bandung. Ini merupakan sanggar seni, laboratorium pendidikan, sekaligus objek
wisata budaya khas Jawa Barat. Sebuah lokasu wisata yang pantas dan tepat
dimana tarian tradisional dan permainan angklung membaur dalam suasana riang
gembira.
Saung Angklung Udjo diibaratkan oase kebudayaan
ditengah perkampungan padat. Saung berdiri diatas tanah seluas 1,2 hektare.
Tercatat sudah 42 negara mengenal permainan angklung. Bahkan Korea Selatan
mengenalkan angklung kepada generasi muda sejak duduk di bangku sekolah dasar. Di
Saung Angklung Udjo, kesenian angklung dikemas dengan sangat menarik oleh
pendirinya, Udjo Ngalagena (alm). Yang akrab dipanggil mang Udjo dan istrinya,
Uum Sumiati. Mang Udjo dikenal sebagai pembuat angklung sejak 1966.
Angklung adalah instrumen music tradisional yang
terbuat dari bamboo yang cara memainkannya dengan digoyang dan menghasilkan
hanya satu nada untuk seyiap instrumennya. Angklung merupakan pengembangan dari
instrument calung. Yaitu tabung bambu yang dipukul.
Pada awalnya angklung hanya bernada pentatonic (da, mi,
na, ti, la). Dibutuhkan puluhan orang untuk memainkan angklung agar terdengar
harmonis. Kini dengan tekhnik tertentu bisa dimainkan oleh bebarapa orang saja.
Pada 1938, Daeng Soetigna memodifikasi suara angklung menjadi diatonic (do, re,
mi, fa, sol, la, si). Sejak saat itu angklung mulai dikenal secara
internasional hingga pernah ditampilkan dalam acara konfrensi Asia-Afrika di
Bandung pada 1955.
Angklung kini lebih sering ditampilkan dalam bentuk
orchestra dan semakin banyak dibina di berbagai sekolah. Saung Angklung Udjo
merupakan sepenggal kisah bagaimana kekayaan budaya local masih bertahan dan
berakulturasi dengan desakan arus globalisasi.
[1] Lindsey,
Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006. Hlm 89
[2] Ibid,
hlm 3.
[3]
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cetakan Pertama, Bina
Cipta, Bandung, 1982, hlm. 124
[4] Pasal 1
(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[5] Lindsey,
Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006. Hlm 7
[6] Pasal 1
(2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[7] Pasal 1
(4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[8] Pasal 1
(3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
[10]
Lindsey, Tim, dkk. Hak Kekayaan Intelektual, Alumni, Bandung, 2006. Hlm 112.
[11] Ibid,
Mantap
BalasHapusmantep makalah nya , kunjungi juga blog saya ada berbagai macam makalah hukum di blog saya link : http://iusyusephukum.blogspot.com/
BalasHapus