Selasa, 15 Januari 2013

Transplantasi Organ Dari Sudut Pandang Hukum dan Islam


A.    KASUS
Jember - Maraknya kasus penculikan bayi dan anak sering dikaitkan dengan dugaan perdagangan organ tubuh, seperti ginjal, kornea mata, hati, dan jantung. Kendati demikian, isu tersebut masih perlu ditelusuri lagi kebenarannya. Aktivis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) di Kabupaten Jember, Jatim, Dewi Masyitah membenarkan kemungkinan perdagangan organ tubuh anak dengan perdagangan anak ke luar negeri. Namun kasus itu belum pernah ditemukan di sejumlah daerah seperti di Kabupaten Jember.
Jember merupakan 'kantong' tenaga kerja Indonesia (TKI), sehingga kemungkinan pahlawan devisa Jember bisa jadi menjadi korban perdagangan organ tubuh melalui sindikat internasional. Kasus perdagangan anak yang terjadi di Jember, bukan tidak mungkin menjadi peluang sejumlah pihak yang ingin menikmati keuntungan besar dengan melakukan transaksi jual beli organ tubuh anak tersebut kepada seseorang yang kaya dan mampu membeli organ tubuh itu dengan harga mahal.
Jurnal kesehatan "The Lancet" menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai 15.000 dolar AS. Sepotong hati manusia harganya mencapai 130.000 dolar AS, sama dengan harga sebuah jantung. Sedangkan harga paru-paru bisa mencapai 150.000 dolar AS. Tinggi rendahnya harga sejumlah organ tubuh manusia sesuai dengan mekanisme pasar, yakni semakin besar permintaan, harganya semakin mahal. Diperkirakan jutaan orang mengantre untuk mendapatkan transplantasi organ tubuh, seperti jantung, ginjal, dan hati. Di Indonesia, diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal kronis yang membutuhkan cangkok ginjal. Sedangkan di Jepang terdapat 11.000-an penderita gagal ginjal.

B.     ANALISIS
B.1. Transplantasi Dan Jual Beli Organ Tubuh Dari Segi Agama Islam
Didalam syariat Islam terdapat 2 macam hukum mengenai transplantasi organ dan donor organ ditinjau dari keadaan si pendonor. Adapun ketiga hukum tersebut, yaitu :
a. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup
Dalam syara seseorang diperbolehkan pada saat hidupnya mendonorkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti ginjal. Akan tetapi mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti mendonorkan  jantung, hati dan otaknya. Maka hukumnya tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah SWT dalam Al – Qur’an :
1)   surat Al – Baqorah ayat 195
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
2)   An – Nisa ayat 29
dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri
3)   Al – Maidah ayat 2
dan jangan tolong – menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

b. Transplantasi Organ dari Donor yang Sudah meninggal
Sebelum kita mempergunakan organ tubuh orang yang telah meninggal, kita harus mendapatkan kejelasan hukum transplantasi organ dari donor tersebut. Adapun beberapa hukum yang harus kita tahu, yaitu :
1.  Dilakukan setelah memastikan bahwa si penyumbang ingin menyumbangkan organnya setelah dia meninggal. Bisa dilakukan melalui surat wasiat atau menandatangani kartu donor atau yang lainnya.
2.  Jika terdapat kasus si penyumbang organ belum memberikan persetujuan terlebih dahulu tentang menyumbangkan organnya ketika dia meninggal maka persetujuan bisa dilimpahkan kepada pihak keluarga penyumbang terdekat yang dalam posisi dapat membuat keputusan atas penyumbang.
3.  Organ atau jaringan yang akan disumbangkan haruslah organ atau jaringan yang ditentukan dapat menyelamatkan atau mempertahankan kualitas hidup manusia lainnya.
4.   Organ yang akan disumbangkan harus dipindahkan setelah dipastikan secara prosedur medis bahwa si penyumbang organ telah meninggal dunia.
5.   Organ tubuh yang akan disumbangkan bisa juga dari korban kecelakaan lalu lintas yang identitasnya tidak diketahui tapi hal itu harus dilakukan dengan seizin hakim.
Persoalan yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh kepada orang yang memerlukannya. Dalam berbagai literatur fikih ditemukan pernyataan para ulama fikih yang tidak membolehkan sese­orang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap mencelakakan diri sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195 tersebut di atas. Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Ayyub bin Musa al-Hanafi az-Zaila’i (w. 762 H/1360 M), tokoh fikih Mazhab Hanafi dalam kitab fikihnya, Path al-Qadir, menyata­kan bahwa ulama Mazhab Hanafi sepakat menyata­kan bahwa tidak boleh memperjualbelikan organ tubuh manusia. Pernyataan senada juga muncul dari Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dari kalangan Mazhab Maliki, Imam Badruddin az-Zarkasyi (745-794 H) dari kalangan Mazhab Syafi’i, dan Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali. Organ tubuh manusia, menurut mereka, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, ka­rena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjual­belikan manusia diharamkan oleh syara.
B.2. Transplantasi Dan Jual Beli Organ Tubuh Dari Segi Hukum Positif Indonesia
Pada dasarnya hukum positif Indonesia memperbolehkan dilakukannya transplantasi organ tubuh dalam hal upaya pengobatan, hal ini jelas diatur dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dalam pasal 64 ayat (1) UU kesehatan disebutkan bahwa :
”Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca”
Dalam pasal diatas disebutkan bahwa transplantasi merupakan salah satu upaya penyembuhan penyakit yang boleh dilakukan oleh tenaga medis di Indonesia. Adapun ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan transplantasi organ diatur dalam pasal 65 UU kesehatan, yaitu :
(1)     Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2)     Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
(3)     Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam upaya penyembuhan penyakit transplantasi organ dapat dilakukan asal sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU kesehatan.
Permasalahan yang kemudian timbul dari adanya transplantasi ini ialah ketersediaan donor yang jumlahnya lebih sedikit daripada orang yang membutuhkan donor, sehingga timbul permasalahan baru yaitu jual-beli organ. Timbulnya permasalahan jual-beli organ ini sudah diantisipasi oleh para perumus UU, dalam 64 UU kesehatan telah diatur mengenai larangan praktek jual-beli organ, ketentuannya adalah sebagai berikut :
(1)    Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
(2)    Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan.
(3)    Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Dengan demikian telah jelas bahwa hukum positif Indonesia memperbolehkan dilakukannya transplantasi organ dalam rangka upaya penyembuhan selama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketika terjadi komersialisasi (jual-beli) dalam transplantasi organ maka itu tidak dibolehkan dan diancam dengan sanksi pidana.

C.    KESIMPULAN
Dalam analisis diatas penulis meninjau mengenai transplantasi ini dari segi agama islam dan hukum positif Indonesia, karena dalam pasal 2 Undang-Undang Kesehatan dijelaskan bahwa Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa baik dari segi agama ataupun segi hukum positif membolehkan dilakukannya transplantasi organ  dalam upaya medic sepanjang sesuai dengan ketentuan UU, namun dalam hal terjadi komersialisasi (jual-beli) dalam pelaksanaan transplantasi organ ini dengan alasan apapun dilarang dan diancam dengan sanksi pidana. Terlebih dalam agama islam praktek jual beli organ ini diharamkan karena pada dasarnya organ tubuh manusia itu haram dan yang haram itu dilarang untuk diperjualbelikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar